GELORA.ME -- Kriminolog yang juga Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof Drs Adrianus Meliala mengungkapkan kasus kematian diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arya Daru Pangayunan di rumah kos di Gondia International Guest House, Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa (8/7/025) lalu, semakin mengarah ke kesimpulan tertentu berdasarkan analisa data yang dirilis kepolisian.
Meskipun sampai saat ini penyidik Polda Metro Jaya belum merilis penyebab kematian diplomat Arya Daru dan motif kematiannya.
Hal ini katanya mengundang berbagai spekulasi dari sejumlah pihak yang menilai polisi lamban.
Apalagi, diplomat Arya Daru ditemukan tidak bernyawa di kamar kosnya dengan kondisi kepala dan wajah terlilit lakban.
Berdasarkan hal tersebut dan data yang diungkapkan polisi, Adrianus Meliala menduga korban mengalami henti napas sehingga tidak mendapatkan suplai oksigen, sebagai penyebab kematiannya.
Hal itu, kata dia akibat kepala dan wajah korban terlilit lakban sampai leher saat ditemukan sesuai rilis kepolisian .
Namun yang perlu didalami kata Adrianus yang dikenal sebagai pakar di bidang kriminologi dan kepolisian itu, adalah motif kematian korban.
Adrianus mengatakan dalam kasus kematian diplomat Arya Daru ada 3 kemungkinan teori sebagai motif kematiannya.
"Bagi saya selama ini ada tiga teori yang dibicarakan di berbagai kalangan di kasus ini. Pertama teori pembunuhan. Itu kelihatannya sudah lama gugur. Mengingat tidak ada indikasi adanya orang yang break-in, yang masuk ataupun keluar kamar korban tanpa diketahui," kata Adrianus dalam tayangan di akun YouTube SINDOnews TV, Rabu (23/7/2025).
"Dengan kata lain, tidak ada pihak kedua yang menjadi pelakunya," tambah Adrianus yang merupakan mantan Komisioner Kompolnas dan Ombudsman RI.
Dengan begitu, kata Adrianus, ia menilai kemungkinan Arya Daru dibunuh mesti dikesampingkan.
"Lalu yang kedua, kemudian teori bunuh diri. Saya termasuk sebagai orang yang mendorong teori ini. Tapi itu pun juga ada kelemahannya. Karena yang namanya self-asphyxiation atau membuat menghentikan jalan nafas sendiri itu adalah bunuh diri yang terlalu menyakitkan," ujarnya.
Karena kata Adrianus ada cara lain yang lebih mudah, misalnya dengan cara minum obat obat tidur.
"Tapi juga apakah hal itu ada? Apakah ada obat-obat itu dekat dengan korban kita enggak tahu. Karena polisi tidak merilis. Dengan kata lain teori ini ada kelemahan," kata Adrianus.
Karena teori pertama yakni pembunuhan gugur dan teori kedua ada kelemahan, menurut Adrianus masuk ke teori ke tiga.
"Maka kita masuk pada teori yang ketiga yang kita sebut sebagai teori fetish tadi," ujarnya.
Fetish adalah ketertarikan seksual yang kuat dan berulang terhadap objek non-genital, seperti benda mati, bagian tubuh tertentu, atau bahkan situasi tertentu, yang dianggap tidak lazim sebagai objek seksual.
Ketertarikan ini bisa berupa benda seperti sepatu, pakaian dalam, atau bagian tubuh tertentu seperti kaki, tangan, atau rambut. Fetish seringkali menjadi bagian dari fantasi seksual seseorang
"Bahwa ini ada kaitannya dengan konteks apa? Seksual disorder (kelainan seksual) yang ada di berbagai dan beberapa kalangan. Dan kemungkinan kalau lihat dari beberapa gejala, umumnya juga mungkin ada pada korban. Tapi juga belum jelas, karena tadi, ada yang tidak dirilis oleh kepolisian," ujar Adrianus.
Dalam rangka misalnya, menurut Adrianus untuk mengetahui apakah ada hal-hal lain yang biasanya muncul atau terlihat pada orang yang melakukan aktivitas seksual.
"Nah, ini yang ingin kita ketahui nih, agar kemudian kita makin jelas tuh mana teori yang benar sebetulnya," kata Adrianus.
Karenanya menurut Adrianus, klaim Kompolnas yang menyatakan ada temuan baru atau informasi baru soal korban yang sifatnya sensitif berdasar keterangan istrinya, sebenarnya tidak ada hal baru.
Sebab menurut Adrianus sejak awal beginilah posisi 3 teori motif kematian korban, dimana dugaan pembunuhan kecil dan yang terkuat adalah kecelakaan akibat fetish.
Dalam kasus ini kata Adrianus, penyidik sudah melakukan segalanya dengan lengkap.
"Begini ya, saya tuh melihat bahwa polisi sudah kurang apa coba? Sudah melakukan permintaan visum dalam, sudah melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap organ dalam, yang mungkin belum selesai. Itu saya bisa mengerti demikian," ujarnya.
Juga kata Adrianus polisi sudah melakukan pemeriksaan digital forensik.
"Sudah pula mewawancara sekian banyak orang, melakukan pemeriksaan atau gelar TKP selama empat kali untuk satu lokasi yang segitu kecil dan tidak ada orang lain yang melakukan kontaminasi terhadap TKP tersebut. Maka apa sulitnya mengungkap kasus ini,: kata Adrianus.
Adrianus menduga bahwa sebetulnya 80 persen penyebab dan motif kematian korban sudah diketahui polisi.
"Tinggal kemudian, ada satu dua hal yang masih perlu di cross check lah gitu ya. Nah, itu yang kemudian masih menunggu tadi. Tapi sebetulnya kesimpulannya sudah diketahui oleh kepolisian. Jadi menurut saya apa yang dilakukan oleh Kompolnas pada pada satu sisi memperkuat sebetulnya arah dari penyelidikan polisi," kata Adrianus.
Tepis Pembunuhan
Menurut Adrianus semua reserse kepolisian diajarkan untuk berangkat dari tempat kejadian perkara (TKP).
"Karena sebetulnya fakta itu ada di TKP. Jangan malah keluar-keluar yang lalu ujung-ujungnya melahirkan cocokologi. Nah, sejauh ini sebetulnya dengan situasi yang ideal, dengan kata lain TKP-nya tidak rusak, dan tidak ada orang yang lalu lalang," kata Adrianus.
Maka, menurut Adrianus, sebetulnya semua hal yang menjadi penyebab dan motif kematian korban ada di TKP.
Ia juga menyinggung apa yang dikatakan oleh Humas Polda Metro Jaya bahwa pada ini sedang dilakukan pemeriksaan laboratoris oleh puslabfor.
"Karena pemeriksaan puslabfor, sebetulnya itu untuk mencari penyebab mati," kata Adrianus.
"Dan sementara kalau kita bicara mengenai pemeriksaan oleh teman-teman psikolog forensik, itu untuk mencari motif. Nah, ini juga yang bisa berbeda nih ya," ujarnya.
"Kalau misalnya diketahui bahwa sebab matinya adalah karena mohon maaf, batang lehernya dibekap atau dihentikan dalam rangka pembunuhan dan ada orang yang sakit hati, maka ada semacam kesesuaian. Antara sebab mati dan motif. Tapi ketika misalnya tidak ada, nanti timbul lagi keraguan, timbul lagi kontroversi, timbul lagi pertanyaan dan nanti ujung-ujungnya teman-teman Kompolnas turun lagi," kata Adrianus.
"Jadi hati-hati ya dengan kemungkinan bahwa kasus ini masih ramai. Mengingat kalau misalnya antara sebab mati dan motif kematian itu ternyata masih bisa menimbulkan pertanyaan," kata Adrianus.
Terkait apakah pelaku kejahatan bisa merekaya kejahatan dengan sempurna hingga semua tidak terdeteksi termasuk barang buktinya, menurut Adrianus hal itu bisa saja meski sangat sulit.
"Cuma masalahnya adalah untuk membuat satu modus sesempurna itu sulit," katanya.
Bahkan sekalipun sudah dirasa sempurna, tetap saja kata Adrianus ada celah untuk penegak hukum mengungkapnya.
"Maka jangan lupa ya bahwa di kejahatan itu kan ada faktor modus, ada faktor lokus, ada faktor aktus, dan ada faktor tempus. Nah, ada hal-hal yang bisa kita kendalikan soal modus, tapi soal yang lain soal tempat, waktu, soal cara itu kan tidak bisa kita atur. Cara mungkin masih bisa. Jadi ada hal-hal yang di luar ke kekuasaan kita sebagai pelaku kejahatan," katanya.
Hal itu katanya menjadi entry point bagi penegak hukum untuk kemudian melakukan satu penelusuran.
Artikel Terkait
Anwar Ibrahim Curi Pena Trump Saat Teken Perjanjian Dagang, Momen Akrab Mereka Bikin Salfok
Geger! 602.000 Warga Jakarta Terjaring Judi Online, Transaksi Tembus Rp 3,12 Triliun
Jalur Kedunggedeh Kembali Normal: KA Purwojaya yang Anjlok Berhasil Dievakuasi, Lalu Lintas Pulih 100%
Prabowo Tegaskan Kemitraan ASEAN-Jepang Sebagai Jangkar Perdamaian di KTT ke-28