Bahaya Penyakit Jokowi Bagi Masa Depan Generasi

- Senin, 21 Juli 2025 | 14:40 WIB
Bahaya Penyakit Jokowi Bagi Masa Depan Generasi


'Bahaya Penyakit Jokowi Bagi Masa Depan Generasi'


Oleh: Syafril Sjofyan

Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78Sekjen APP-Bangsa


Orang yang selalu merasa benar, tidak pernah mau meminta maaf, dan sulit menerima kritik bisa menunjukkan ciri-ciri gangguan kepribadian tertentu, meskipun tidak selalu berarti mengidap penyakit mental secara klinis.


Jokowi diduga sebagai Narcissistic Personality Disorder (NPD), dengan ciri-cirinya sebagai berikut:


Pertama, merasa diri paling penting atau berhasil sehingga masih perlu cawe-cawe keberbagai pejabat/ aparat pemerintahan. 


Kedua, tidak memiliki empati, faktanya tidak ada pernyataan berduka atau permintaan maaf terhadap meninggalnya 800 orang lebih petugas KPU (2019). Ratusan korban Kanjuruan dan dibunuhnya 8 orang santri di KM 50.


Ketiga, merasa dirinya selalu benar. Sulit mengakui kesalahan/ kebohongannya dan enggan/ tidak pernah meminta maaf. 


Keempat, butuh pujian atau pengakuan terus-menerus. 


Sehingga memelihara issue citra diri dan membiayai relawan pendukung baik secara langsung tidak langsung dengan menjadikan organisasi relawan tetap eksis. 


Elit relawannya dijadikan komisaris berbagai BUMN, untuk menjaga/ membiayai kelompok relawan tersebut untuk selalu memuja-muja dirinya serta memelihara Jokowi tetap populis.


Disamping NPD, Jokowi juga diduga mengidap Ego Defense Mechanism yakni mekanisme pertahanan ego.  


Denial (penyangkalan) walaupun secara fakta ketahuan berbohong (contoh kasus Kasmudjo yang diakui sebagai pembimbing skripsi). 


Menolak kenyataan atau fakta yang mengganggu citra dirinya. Seperti masalah Ijazah palsu, menyalahkan orang lain dengan melakukan tuntutan pidana atas kesalahan atau kekurangannya sendiri yang selalu menyembunyikan ijazahnya.


Jokowi bisa dianggap mengidap gangguan kepribadian karena perilaku diagnosis diatas sudah berlangsung lama dan menetap.


Konteksnya adalah bahwa mantan Presiden yang bernama Jokowi tidak pernah meminta maaf atas sejumlah kesalahan/ kegagalan serta kebohongannya maupun klaim kontroversialnya.


Karena Jokowi adalah figur publik. Punya kekuasaan, sekarang setelah bukan presiden tapi masih punya “relasi kekuasaan”, sebagai pejabat Danantara, sebagai teman “dekat” Presiden Prabowo


Orang-orangnya Jokowi masih banyak bercokol memegang kekuasaan seperti Menko, Menteri, Wakil Menteri, Kapolri, termasuk di lingkup Pengadilan. 


Bahkan anaknya ditampuk kekuasaan sebagai wapres. Sehingga “penyakit Jokowi” tersebut sulit/ tidak akan bisa diatasi atau diminta pertanggungjawabannya baik secara politik maupun hukum.


Untuk perbaikan bangsa kedepan hal ini perlunya dibahas, perlu selalu dikaji dan dikritisi terus menerus, bahkan harus dituntut bersama oleh publik. 


Disadari kelemahan publik/ masyarakat Indonesia adalah cenderung cepat lupa atau permisif/ memaafkan. 


Padahal kasus ini bisa menjadi preseden yang akan merugikan bangsa bahkan berbahaya bagi perkembangan moral generasi penerus, yang menganggap kebohongan merupakan suatu keharusan bahkan budaya.


Bagaimana dengan DPR lembaga perwakilan rakyat, sebagai institusi pengawas selama ini abai mengejar kasus-kasus melibatkan Jokowi. 


Seperti klaim 11 ribu triliun atau mobil Esemka, termasuk issu korupsi Jokowi oleh lembaga internasional  OCCRP


Bahkan anggota DPR hanya diam bagai “patung” tanpa suara, termasuk penanganan kasus dugaan kepalsuan ijazah Jokowi yang tidak equality before the law oleh POLRI.


Jokowi terjangkit NPD, dia selalu merasa benar dengan tidak memperlihatkan ijazahnya. 


Merasa tetap berkuasa dan masih bisa memanfaatkan relasi kuasanya baik di Polri maupun di Pengadilan, untuk melakukan kriminalisasi terhadap para aktivis, advokat dan peneliti dengan jargon merasa terhina dan direndahkan serendah-rendahnya, dipihak lain ijazahnya tetap “disembunyikan” walaupun sudah banyak bukti kejanggalan ijazah dan pendidikanya di UGM.


Bukti dari “NPD penyakit Jokowi” yang punya relasi kuasa dilingkungan POLRI, masih mendapat perlakuan istimewa terhadap proses LPnya di Polda Metro


Kasus yang masih sumir, karena ijazah Jokowi belum jelas statusnya. Secara cepat diproses oleh Polda Metro. 


Terkesan Jokowi “memaksa” agar orang yang kritis melakukan kajian ilmiah terhadap ijazahnya harus meminta maaf seperti yang disampaikan oleh pembelanya jika tidak lanjut ke pengadilan.


Sebenarnya tujuan utamanya adalah memenjarakan orang-orang kritis terhadap kepalsuan dirinya. 


Sementara dugaan “kebohongan/ kepalsuannya” ijazahnya akan dia tutup rapat-rapat, baik melalui polisi, jaksa dan hakim. 


Hal ini sudah pernah terjadi pada pengadilan Bambang Tri dan Gusnur di Solo, hakim langsung memvonis hukuman. 


Tanpa penyidik polisi, jaksa dan hakim memperlihatkan/ bukti ijazahnya dalam proses peradilan. Hal yang sama akan dilakukan pada Dr. Roy Suryo cs.


Berikut ini beberapa rangkuman kronologi klaim kontroversial dan dugaan kebohongan publik Jokowi selama masa kekuasaannya (dari Wali Kota hingga Presiden) sebagai bukti Jokowi diduga mengidap NPD.


Kasus Mobil Esemka (2009–2014), Jokowi mempromosikan mobil Esemka sebagai mobil nasional karya anak bangsa saat menjabat Wali Kota Solo


Ia bahkan menyatakan mobil itu akan diproduksi massal sudah 6000 pemesan pada hal kemampuan produksi sekitar 200.


Fakta nya Mobil Esemka tidak pernah diproduksi massal seperti digemborkan Jokowi. 


Belakangan diketahui mobil itu dari luar negeri (China). Hingga kini tidak ada permintaan maaf atau klarifikasi terbuka dari Jokowi.


Kebohongan tidak akan bagi-bagi Jabatan (2014–2019), Jokowi berkali-kali menyatakan tidak akan bagi-bagi kursi menteri atau jabatan kepada partai demi politik balas jasa. Faktanya Kabinet Jokowi diisi oleh banyak tokoh partai politik. 


Banyak jabatan Direktur/ Komisaris BUMN juga diberikan kepada relawan, loyalis, dan keluarga elite politiknya. 


Korupsi meraja lela, lingkungan dirusak, penjarahan tanah rakyat dimana-mana. Tidak pernah kata maaf keluar dari mulutnya.


Kebohongan 11 Ribu Triliun Dana di Luar Negeri (2016), Jokowi menyebut ada dana Rp11.000 triliun milik WNI di luar negeri, dan pemerintah akan menariknya masuk melalui program tax amnesty.


Faktanya tidak pernah dijelaskan asal-usul data angka tersebut. Hasil Tax Amnesty 2016 hanya membawa masuk sekitar Rp 147 triliun. 


Tidak ada penjelasan publik lebih lanjut dan tidak ada permintaan maaf Jokowi atau klarifikasi darinya selaku Presiden.


Kebohongan penanganan lingkungan dan janji tidak melemahkan KPK, menolak melemahkan KPK, mendukung reformasi agraria, dan perlindungan hutan adat. Faktanya Revisi UU KPK (2019) yang mengurangi independensi KPK diteken tanpa penolakan. 


Banyak aktivis lingkungan ditangkap saat membela ruang hidup seperti di Rempang dan Wadas. Tidak pernah ada permintaan maaf atas tindakan represif aparat.


Jokowi mengatakan tidak akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024


Faktanya tindakan Jokowi melalui nepotisme mendorong pencalonan putranya Gibran Rakabuming sebagai Cawapres, serta dugaan dukungan kekuasaan melalui parcok dan kepala desa pada Pilpres, dinilai sebagai bentuk “cawe-cawe tingkat tinggi” Jokowi.


Terbaru tentang dosen pembimbing skripsi, Jokowi menyebut dosen pembimbing skripsinya bernama Kasmudjo (2017). 


Faktanya (2025) Kasmudjo membantah, dirinya bukan pembimbing skripsi maupun pembimbing akademik. 


Jokowi masih berkilah. Saat ini Dr. Rismon Sianipar telah melaporkan Jokowi melalukan penipuan publik melalui Polda DIY.


Sebenarnya banyak sekali kebohongan yang dilakukan Jokowi jika diuraikan dari rekam jejak politik dan komunikasi publik Jokowi.  


Pada artikel ini hanya sebagian kecil yang di jelaskan sebagai bukti fakta adanya penyakit Jokowi yang berdampak bahaya.


Seorang pemimpin seperti halnya Jokowi tidak pernah minta maaf, hal itu mencerminkan bukan hanya soal pribadi yang mengidap NPD tapi juga akan berdampak buruk bagi pendidikan budaya politik moral generasi  penerus.


Mengingat daya rusaknya kebohongan dan kepalsuan Jokowi. 


Publik harus tetap kritis melawan, mengajukan tuntutan politik dan hukum termasuk fokus menyuarakan dan mendukung perjuangan aktivis dan peneliti pemberani seperti Dr. Rismon. Dr. Roy Suryo, Dr, Tifa dan Rizal Fadillah/TPUA dkk. 


Untuk menjadikan Jokowi sebagai tersangka pemalsuan dan kebohongan publik. Tangkap dan Adili Jokowi! ***

Komentar