Sejak Agustus 2022, ia menjabat sebagai associate di IDEAS, lembaga pemikir kebijakan luar negeri London School of Economics.
Selain itu, beliau juga pernah menjabat sebagai profesor tamu di Universitas Bina Nusantara dan Universitas Paramadina.
Dia menerima gelar B.A. dalam Hubungan Internasional dari Universitas Qatar, sebelum menyelesaikan gelar M.A. dalam Politik Internasional dan Ph.D dalam Politik di Universitas Manchester di Inggris.
Klarifikasi Zulfikar
Akademisi asal Indonesia, Muhammad Zulfikar Rakhmat, menjelaskan sempat diinterogasi dan diperiksa di Bandara Changi, Singapura, pada 2023 karena dinilai otoritas setempat memiliki riwayat mendukung ISIS, Sabtu (17/5),
Ia mengatakan bahwa tudingan yang sampai disampaikan Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) tersebut tidak benar.
"Saya tegaskan: saya tidak pernah mendukung ISIS, dan saya juga tidak pernah membuat unggahan daring yang mendukung tindakannya. Sebaliknya, saya secara terbuka dan konsisten mengkritik kelompok tersebut atas kekerasan dan distorsi ajaran Islam yang dilakukannya," katanya.
Zulfikar mengatakan ia sebagai seorang muslim dan peneliti memandang bahwa ISIS bukan hanya sebagai sumber penderitaan manusia yang sangat besar, tetapi juga sebagai kekuatan yang merusak prinsip-prinsip keadilan dan martabat yang menjadi inti dari iman dan pekerjaannya.
Ia menceritakan, ia menerbitkan artikel yang berisi kecaman terhadap ISIS pada 2014.
Artikel itu ia tulis merespons pembunuhan Abdul Rahman Kassig, pekerja kemanusiaan asal Amerika Serikat yang disandera dan dibunuh oleh ISIS.
Dalam artikel berjudul 'Pembunuhan Abdul Rahman Kassig: Siapa yang Diwakili ISIS?' itu, Zulfikar menulis "Apa yang disebut Khilafah ini tidak menghargai kehidupan manusia; tidak menghargai pekerja kemanusiaan, tidak menghargai jurnalis, dan, yang lebih penting, tidak menghargai Muslim... Mereka tidak mewakili Islam dalam tindakannya terhadap warga sipil."
"Artikel ini bersama dengan artikel lain yang pernah saya tulis tentang konflik Suriah, berfokus pada penderitaan warga sipil terutama anak-anak dan kebutuhan mendesak akan solusi damai," katanya.
"Ini bukanlah tulisan seseorang yang bersimpati terhadap terorisme; ini adalah refleksi seorang peneliti yang berkomitmen pada keadilan, akuntabilitas, dan hak asasi manusia," sambungnya.
Zulfiklar juga mengatakan ia mengakui hak setiap negara untuk melindungi perbatasan mereka. Namun, harus dilakukan dengan adil dan akurat.
Ketika analisis atau advokasi politik yang kompleks disalahartikan sebagai aktivitas ekstremis, sambungnya, maka konsekuensinya sangat berat tidak hanya bagi individu yang menjadi sasaran, tetapi juga bagi integritas karya akademis dan jurnalistik secara keseluruhan.
"Yang lebih meresahkan adalah bagaimana tuduhan ini tampak seperti upaya terencana untuk mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya: semakin sempitnya ruang bagi suara-suara kritis di Singapura," kata Zulfikar.
"Alih-alih terlibat secara konstruktif dengan masalah hak asasi manusia terutama yang terkait dengan Palestina dan Suriah, otoritas Singapura memilih untuk mendiskreditkan dan mengintimidasi," katanya.
Ia menambahkan bahwa saat diinterogasi, pihak Singapura tak membahas soal ISIS.
"Waktu interogasi mereka enggak bahas ISIS. Makanya saya kaget," katanya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
TNI Gagalkan Aksi Begal & Tabrak Lari di Tol Kebon Jeruk, 3 Motor Curian Disita
Kalah Telak! Mr J PSI Tumbang di Tangan Anak Buah Prabowo
Pemkot Surabaya Gandeng Densus 88, Ini Tujuan dan Langkah yang Akan Dilakukan
Prabowo Izinkan Jokowi Diadili? Ini Kata Pengamat Soal Sinyal Purbaya