'Konon Tak Kasat Mata, Ijazah Jokowi Hanya Bisa Dilihat Oleh Orang Yang Berjodoh?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Ada yang tak selesai dari seorang Joko Widodo!
Bukan hanya perkara masa depan Ibu Kota Negara yang belum jadi kota, atau soal utang negara yang kian menumpuk, tapi juga tentang pendidikan.
Bukan, ini bukan tentang kurikulum yang berubah saban ganti menteri.
Ini tentang hal yang lebih elementer, lebih mendasar, lebih subtil: suri teladan seorang pemimpin tentang integritas akademik.
Selama lebih dari satu dekade menjadi pejabat publik—wali kota, gubernur, hingga dua kali menjadi presiden—Joko Widodo nyaris tidak pernah mengajak rakyatnya bicara soal kejujuran akademik.
Ketika tudingan ijazah palsu menyeruak, ia memilih diam.
Lebih dari itu, ia bersikukuh menolak memperlihatkan ijazah aslinya, bahkan dalam forum hukum yang sah.
Kita tentu tidak sedang berbicara tentang kemampuan memalsukan dokumen dengan teknologi canggih. Justru sebaliknya.
Cara memalsukan ijazah yang diduga milik Jokowi itu tampak kasap mata. Tidak canggih-canggih amat.
Jika diperhatikan baik-baik, banyak yang janggal: font yang tak seragam, tanda tangan rektor yang diragukan, hingga struktur kalimat yang terasa asing bagi tata bahasa resmi surat menyurat akademik era itu.
Namun, alih-alih terbuka dan membantah dengan menunjukkan dokumen asli, Jokowi bergeming.
Seolah-olah ijazah adalah barang mistik yang hanya bisa dilihat oleh yang berjodoh.
Di sisi lain, aparatur negara—yang seharusnya netral—terlihat begitu cekatan menutupi dan membungkus perkara ini dengan kabut perlindungan.
Pihak universitas yang diduga menerbitkan ijazah itu tampak gagap, sering memberikan pernyataan yang bertolak belakang, dan bahkan menghindar dari wawancara terbuka.
Sementara hakim dan jaksa dalam persidangan lebih mirip pelindung terdakwa ketimbang pencari kebenaran. Polisi?
Jangan ditanya. Kasus laporan terhadap dugaan pemalsuan ijazah ini nyaris tak bergerak.
Maka pertanyaannya sederhana: Apa yang sedang diajarkan Jokowi kepada anak bangsa?
Bahwa integritas bisa dikompromikan? Bahwa lebih penting membangun jalan tol daripada membangun karakter?
Bahwa seorang presiden tak perlu memberi contoh kejujuran paling sederhana, seperti memperlihatkan ijazahnya sendiri?
Jika seorang kepala negara menghindari pertanggungjawaban akademik, maka tak ada harapan yang bisa dititipkan pada generasi penerus.
Kita tak sedang bicara soal gelar, tapi tentang kejujuran!
Dan bangsa yang kehilangan kejujuran akan tumbuh menjadi negeri penuh kepalsuan—ijazah palsu, gelar palsu, janji palsu.
Di sinilah titik nadir pendidikan kita: saat pemimpin tertinggi bangsa tidak mendidik rakyatnya dalam seluruh aspek kehidupan.
Tidak dalam hal berpikir jernih, tidak dalam bersikap jujur, tidak dalam memperlakukan hukum secara adil, bahkan tidak dalam menunjukkan bahwa ijazah adalah hasil jerih payah, bukan produk sablon jalanan.
Maka, tak salah jika kita menyimpulkan: Jokowi mungkin pernah kuliah. Tapi ia tak pernah mendidik. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
ANEH! Dulu Pembimbing Skripsi Kini Berubah Jadi Pembimbing Akademik, Narasi Jokowi Soal Kasmudjo Jadi Sorotan
SIKAT HABIS! KPK-Polri Masih Jadi Kaki Tangan Jokowi, Prabowo Andalkan Kejaksaan & TNI
Misteri Jet Tempur Mesir di Pakistan, Ancaman Nuklir India Semakin Nyata?
Kata Menkes BGS: Bila Laki-Laki Celana Jeansnya Ukuran 33, Menghadap Allahnya Lebih Cepat!