IRONI! Parpol dan Tokoh Hanya Joget Poco-Poco Saat Rakyat Teriakkan Pemakzulan Gibran

- Rabu, 02 Juli 2025 | 14:10 WIB
IRONI! Parpol dan Tokoh Hanya Joget Poco-Poco Saat Rakyat Teriakkan Pemakzulan Gibran




GELORA.ME - Isu terkait pemakzulan Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka kembali memanas dan jadi pembahasan.


Forum Purnawirawan TNI beberapa waktu lalu telah menyampaikan secara resmi usul pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI, ke DPR Ri melalui sekretariat.


Hanya saja, surat permintaan pemakzulan Gibran itu diklaim belum sampai ke meja pimpinan DPR RI.


Hal itu diakui Ketua DPR RI, Puan Maharani. Dia menyatakan Pimpinan DPR belum menerima secara resmi surat pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI.


Ia mengklaim, hingga kini surat tersebut masih berada di Sekretariat Jenderal DPR RI dan belum sampai ke meja pimpinan.


"Surat belum kita terima karena baru hari Selasa (minggu lalu) dibuka masa sidangnya, masih banyak surat yang menumpuk,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7).


Merespon hal ini, Aktivis Sosial, Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu memberikan sindiran menohok lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya.


Said Didu ini menyebut yang dilakukan dalam hal ini pemakzulan Gibran adalah membersihkan dan meluruskan kesalahan bangsa.


Justru tindakan yang dilakukan ini tidak mendapatkan respon dari Partai, Parlemen, dan tokoh


“Saat rakyat ingin bersihkan dan luruskan kesalahan bangsa lewat pemakzulan Gibran,” tulisnya dikutip Rabu (2/7/2025).


“Justru Partai, Parlemen, dan tokoh hanya menjadikan sebagai musik untuk main poco-poco,” sebutnya.


Lebih jauh, Said Didu memberi imbauan untuk menghentikan hal seperti ini terjadi dengan bersatu untuk perbaikan bangsa.


“Demi perbaikan bangsa. Ayo bersatu hentikan tarian poco-poco rezim, parpol, dan tokoh,” terangnya.


Dalam tweet nya itu, Said Didu mengunggah poster undangan konferensi pers terkait sikap Purnawirawan TNI dan Masyarakat Sipil atas sikap acuh parlemen (DPR, DPD, MPR) terhadap usulan pemakzulan Wapres Gibran.


👇👇



Diketahui, Forum Purnawirawan Prajurit TNI secara resmi mengirim surat tertanggal 26 Mei 2025 kepada pimpinan DPR dan MPR RI yang mendesak proses pemakzulan atau impeachment terhadap Wapres Gibran.


Tuntutan ini disebut sebagai bentuk penolakan terhadap dugaan pelanggaran etika dan konstitusi dalam proses pencalonannya di Pilpres 2024.


Mereka menilai keabsahan Gibran sebagai wakil presiden cacat hukum karena lahir dari putusan MK yang kontroversial.


Sebelumnya, Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A., menyampaikan bahwa permintaan pemberhentian Wakil Presiden Gibran oleh Forum Purnawirawan TNI kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum memiliki dasar hukum yang memadai.


Menurutnya, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional dan bukan semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik.


Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh.


“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” ujarnya.


Secara konstitusional, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur secara tegas dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal tersebut menyatakan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum, antara lain berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


Diketahui landasan hukumnya:


Sandaran Konstitusional: Pasal 7A dan 7B UUD 1945


1. Pasal 7A UUD 1945 menetapkan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan atas usul DPR dan berdasarkan keputusan MPR jika terbukti:


- melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela; 

- atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat negara


2. Pasal 7B UUD 1945 menjelaskan mekanisme konkret:


- DPR mustahil mengajukan usul langsung ke MPR; sebelum itu, DPR wajib meminta MK memeriksa dugaan pelanggaran

- Pengajuan DPR ke MK harus didukung oleh 2/3 anggota dari jumlah dan kehadiran dalam rapat paripurna

- MK memiliki 90 hari untuk memutus jika benar terjadi pelanggaran.

- Bila MK menyatakan terbukti, DPR menggelar rapat paripurna untuk meneruskan usul ke MPR; kemudian MPR wajib memutuskan dalam 30 hari, dengan kuorum minimal ¾ anggota hadir dan persetujuan ⅔ anggota hadir.

- Wapres/gubernur berhak menyampaikan pembelaan sebelum keputusan akhir diambil.


Sumber: Fajar

Komentar