Gibran dan Kebohongan Publik: 'Ketika Putusan Konstitusi Tak Lagi Sakral'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Lima jenderal bintang empat, puluhan laksamana, marsekal, dan perwira tinggi TNI lainnya menandatangani petisi.
Mereka bukan hendak perang, tapi menyatakan keprihatinan atas kemunduran moral demokrasi. Pusat dari kegelisahan ini: Gibran Rakabuming Raka.
Tak perlu menyelesaikan pendidikan menengah di Indonesia. Tak harus melewati proses seleksi partai secara terbuka.
Cukup jadi anak presiden dan dibukakan jalan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Itulah yang dialami Gibran.
Sejak putusan itu diketok oleh MK, dengan Ketua-nya—Anwar Usman—adalah paman sekaligus ipar Presiden Jokowi, polemik tak berhenti bergulir. Kini, puluhan jenderal angkat bicara.
Ada Jenderal Sudarto. Ada Slamet Sugianto. Ada Hanafi dari Angkatan Udara. Bahkan ada nama besar Try Sutrisno, Jenderal paling senior saat ini, kelahiran 1935. Mereka tak sedang bermain-main.
Tanda tangan para jenderal ini adalah suara nyaring dari barak, mengabarkan bahwa bangsa ini sedang tergelincir dalam kegelapan etika konstitusi.
Apa yang mereka kritik? Bukan sekadar putusan MK yang memberi karpet merah kepada Gibran. Tapi cara putusan itu dibuat.
Intervensi, kongkalikong, dan pembiaran pelanggaran etik menjadi catatan hitam yang tak bisa dihapus dengan tinta kekuasaan.
Kebohongan Publik:
Lalu, muncul pertanyaan penting: apakah Gibran melakukan kebohongan publik? Dalam perspektif hukum positif, mungkin belum ada pembuktian yang sahih. Tapi secara moral publik, jawabannya jelas.
Ketika ia menerima putusan MK dan mencalonkan diri, seolah tidak terjadi apa-apa, padahal semua tahu, jalan itu dilicinkan oleh tangan kekuasaan.
Ketika ia mengatakan “ini bukan rekayasa”, padahal pamannya sendiri diputus melanggar etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, maka publik tidak melihat kejujuran, tapi manipulasi.
Dalam logika demokrasi, ini bukan sekadar pelanggaran prosedur. Ini soal integritas. Jika proses awal cacat, maka hasilnya cacat pula.
Artikel Terkait
Pangdam Bukit Barisan Gembleng 500 Kadet di Pematang Siantar, Tanamkan Cinta Tanah Air
Budi Arie Setiadi Minta Restu Projo Gabung Gerindra, Disebut Alat Ngamen Politik
Kopi Termahal di Dunia Rp16,6 Juta per Cangkir Diluncurkan di Dubai
Purbaya Ajak Produsen Rokok Ilegal ke KIHT, Dapat Tarif Cukai Khusus