Rapat RUU TNI, Rapat-rapat

- Senin, 17 Maret 2025 | 10:30 WIB
Rapat RUU TNI, Rapat-rapat





OLEH: AHMADIE THAHA

   

DEWAN Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, lembaga yang diamanahkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, tampaknya semakin kreatif dalam menafsirkan makna “perjuangan.”


Kali ini, perjuangan itu mengambil bentuk rapat maraton di Hotel Fairmont, sebuah hotel bintang lima di Jakarta.



Tentu saja, ini bukan sekadar rapat biasa. Ini rapat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang menurut berbagai pihak mengandung aroma kuat kembalinya dwifungsi ABRI. Sesuatu yang pernah dikubur di era reformasi, tapi kini seperti zombi yang enggan beristirahat tenang.


Namun, mari kesampingkan dulu substansi RUU itu, karena ada pertanyaan yang lebih mendesak: Mengapa rapat ini harus dilakukan di hotel mewah, yang kamar termurahnya saja berharga Rp 2,6 juta per malam, jumlah yang bagi sebagian rakyat cukup untuk bertahan hidup sebulan? Dilakukan dengan tertutup rapat-rapat pula.


Ada apa pembahasan sebuah rancangan peraturan sangat penting disembunyikan? Apakah Gedung DPR kini dianggap terlalu proletar? Ataukah udara Senayan tak lagi cukup "steril" untuk mengakomodasi diskusi yang begitu “urgent” ini? Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, dengan enteng menjawab bahwa rapat di hotel adalah tradisi.


Tradisi, saudara-saudara! Seperti halnya tradisi mudik, bakar petasan saat Lebaran, atau tradisi lama DPR dalam membuat kebijakan yang lebih sering menguntungkan elite dibanding rakyat. Ia bahkan menyebut bahwa pembahasan UU Kejaksaan dan UU Pelindungan Data Pribadi juga dilakukan di hotel-hotel mewah, seolah-olah ini prestasi yang patut dicatat dalam sejarah parlemen Indonesia.


Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, memberikan justifikasi tambahan: rapat ini bersifat maraton dan memerlukan tempat istirahat yang memadai. Bayangkan betapa lelahnya para wakil rakyat itu harus duduk berjam-jam, berpikir keras, menyusun pasal-pasal yang akan menentukan masa depan bangsa.


Dalam logika Sekjen, jelas mereka memerlukan tempat yang nyaman, - tempat di mana mereka bisa bersandar di sofa empuk, menikmati hidangan berkualitas, dan mungkin merenungi nasib rakyat dari ketinggian lantai atas hotel. Ataukah ini bentuk sogokan tak langsung terhadap mereka?


Bagi rakyat, alasan Sekjen tadi tentu sulit diterima. Sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun nekat merangsek masuk ke ruang rapat, mempertanyakan alasan pertemuan ini dilakukan secara tertutup di hotel mewah.

Halaman:

Komentar