“Masyarakat Bali sangat berbeda dengan masyarakat Aceh atau Sumatra Barat, atau Sulawesi Utara. Masyarakat Nusa Tenggara Barat sangat berbeda dengan Nusa Tenggara Timur atau Lampung, atau Kep. Bangka Belitung,” ungkapnya.
“Misalnya, berkaca pada hasil pilpres 2019, suara perolehan Prabowo sangat besar di Aceh (85,6 persen) atau Sumatra Barat (85,9 persen), tetapi hancur di Bali (8,3 persen), Nusa Tenggara Timur (11,5 persen), Jawa Tengah (22,7 persen),” beber Anthony.
Kedua, lanjutnya, karena itu, sampling 1.200 responden untuk 34 provinsi, atau rata-rata sekitar 35 responden per provinsi hasilnya tentu saja tidak akan akurat sama sekali. Ketika sampling diarahkan ke provinsi tertentu yang menjadi basis pemilih calon tertentu, maka hasilnya akan bias memihak kepada calon tersebut.
“Sebagai alternatif dari survei, perkiraan atau prediksi hasil pilpres 2024 bisa juga diperikrakan berdasarkan data empiris pilpres 2014 dan 2019. Apa yang bisa dipelajari dari data tersebut?” tegasnya.
Dia mengurai, masyarakat yang memilih partai tertentu belum tentu memilih calon presiden yang didukung partai tersebut. Artinya, terjadi “pembangkangan” kepada partai, dan pembangkangan tersebut bisa sangat ekstrim di daerah.
“Misalnya, total suara partai pendukung Prabowo mencapai 59,1 persen di pilpres 2014. Tetapi yang mencoblos Prabowo hanya 46,85 persen. Penurunan suara Prabowo sangat bervariasi per provinsi. Ada yang ekstrim seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, atau Jawa Tengah. Artinya, koalisi gemuk tidak menjamin menang,” pungkasnya.
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Klarifikasi Lengkap Video Viral Golf Dadan Hindayana: Charity untuk Bencana Sumatera
2.603 Rumah Bantuan Dibangun Tanpa APBN, Tzu Chi & Menteri Ara Berkontribusi
Bantuan Rp 10.000 Per Hari dari Mensos: Jadup 3 Bulan untuk Korban Bencana Sumatera
Lisa Mariana Minta Maaf ke Atalia via DM: Unggah Bukti & Reaksi Warganet