Sultan yang Menyumbang, Rakyat yang Diinjak-injak

- Kamis, 21 September 2023 | 09:31 WIB
Sultan yang Menyumbang, Rakyat yang Diinjak-injak


Sebenarnya, sumbangan terbesar Sultan Melayu ini, bukanlah uang 13 juta gulden, mahkota atau keris itu. Tapi adalah tanah yang mengandung minyak. Dari area Minas dihasilkan minyak berkualitas tinggi, Sumatran Light Sweet Crude Oil. Penemu ladang minyak Minas adalah Richard H Hopper. Dia menggaet PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) sebagai kontraktor. Pemerintah Indonesia yang mengelola aset-aset milik Riau di industri hulu itu, mengoperasikan semua blok migas,  berdasarkan kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) dengan PT California Texas (Caltex).

    

Dalam catatan Richard H Hopper, Mei 1973, Caltex mencatatkan produksi puncak 1 juta barel per hari. Sejak pertama kali berproduksi pada awal 1950-an, lapangan-lapangan migas di Riau yang dikelola PT CPI telah memberikan kontribusi terhadap produksi nasional lebih dari 12 miliar barel secara kumulatif, di antaranya bersumber dari lapangan minyak raksasa Minas.


Hopper menulis, industri "emas hitam" telah mengubah perekonomian Indonesia dan Riau seperti sekarang. Dan, produksi itu masih berjalan hingga kini. Tapi dia lupa menyebut, bahwa lahan dimana tempat minyak-minyak itu bersembunyi, adalah tanah-tanah milik Sultan Syarif Kasim II atau peninggalan Kesultanan Melayu yang dihibahkan kepada Pemerintah RI dengan sukarela.


Kalau dihitung dengan kasat mata, mungkin sumbangan tanah dan migas yang diberikan orang Melayu ke negeri ini, jumlahnya sejak tahun 1950-an sudah jutaan triliun rupiah. Angka yang sangat fantastis dan luar biasa. Orang Melayu tahu itu. Karena mereka selalu mencatatnya. Belum lagi sumbangan Kesultanan Melayu Indragiri yang menyerahkan tanah mereka untuk produksi minyak PT Stanvac Indonesia (PTSI) sejak 1955-an.


Bukan Balas Jasa


Kini, tanah Melayu sedang bergolak di Rempang, Galang dan Bulang, Kepri. Mereka diminta angkat kaki dari kampung mereka dengan alasan investasi. Rakyat tentu saja menolak. Karena sudah ratusan tahun, nenek moyang mereka tinggal dan berjuang menegakkan bendera Melayu dari penjajahan Portugis, Inggris dan Belanda di sana.


Rakyat berontak. Mereka bersikukuh tak mau pindah. Akibatnya, mereka diintimidasi, diserang dengan gas airmata dan diinjak-injak ketika melakukan perlawanan. Bahkan yang lebih dahsyat, mereka dianggap anti NKRI, menghalangi pembangunan, melanggar undang-undang dan sebagainya.


"Kelompok pengganas" yang tega pada  rakyat Rempang itu, seketika menjadi lupa akan catatan sejarah orang Melayu. Karena, ketika Indonesia merdeka tahun 1945, sultan-sultan mereka yang masih berdaulat, dengan sadar menyerahkan kerajaannya untuk bergabung, menjadi NKRI, menjadi Indonesia. Jasa baik Sultan Melayu itu, mungkin belum terbalas hingga kini. Tapi lihatlah, sebahagian anak cucunya saat ini dirundung derita.


Budayawan Riau, Alhaj Aris Abeba, kepada wartawan mempertanyakan tindakan para investor di Rempang itu. "Kurang cukupkah sumbangan sultan-sultan Melayu ke negara ini. Para Sultan yang merelakan hartanya, tanahnya, istananya bahkan jiwanya. Begitu teganya mereka pada puak Melayu," tanya Aris dalam satu diskusi mengenai Rempang.


Aris menyebut; jika adab sudah hilang, semua bisa sewenang-wenang. Jika nafsu didahulukan, adab jadi mainan. "Mereka tidak beradab dan beradat. Kekayaan Melayu dinikmati, tapi tak ada rasa terima kasih. Kekayaan alam diluru, tapi tak ada rasa malu," tegasnya.


Begitulah! Bagi orang Melayu, budi adalah rasa dan jasa, yang tak bisa dibayar dengan apapun. Budi baik yang ditanam akan diingat sampai mati. Bak kata pantun Melayu; Pisang emas bawa berlayar/masak sebiji di dalam peti. Utang emas bisa dibayar/utang budi dibawa mati. Takkan lari gunung dikejar/makin hari bertambah tinggi. Utang emas bisa dibayar/utang rasa bernama budi. Salam! 


(Penulis adalah mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau 2008-2017, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau 2020-2025.)

Halaman:

Komentar