Banjir Darah di Tanah Mataram, Amangkurat I Bunuh 6.000 Ulama Islam dalam Waktu 30 Menit

- Selasa, 22 Agustus 2023 | 15:30 WIB
Banjir Darah di Tanah Mataram, Amangkurat I Bunuh 6.000 Ulama Islam dalam Waktu 30 Menit

Tetapi, tidak hanya para ulama yang menjadi korban pembantaian, keluarga dan para pengikutnya juga tewas dibantai.


Dilukiskan, usai pembantaian itu wilayah Mataram menjadi lautan darah. Beberapa ahli sejarah bahkan menyebutkan, bau anyir darah terjadi selama beberapa hari usai pembantaian tersebut. Mayat bergelimpangan di mana-mana.


Di hari pembantaian, Amangkurat I tidak muncul di luar benteng keratonnya. Seperti hari Kamis lainnya, dia memimpin sidang rapat. Meski demikian, pembantaian dilakukan atas perintahnya, yang ditandai dengan dentuman meriam.


"Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan," tulis HJ de Graaf, seperti dikutip dari catatan Rijkloff van Goens, saat melukiskan pembantaian tersebut.


Sehari setelah pembantaian ribuan ulama itu, Amangkurat I mengadakan rapat dengan para pembesar kerajaan.


Yang mengejutkan, dalam rapat itu dia berpura-pura terkejut dengan pembantaian 6.000 ulama di Mataram. Dengan mata merah, dia melihat satu persatu pembesar kerajaan. Suasana pun menjadi hening hingga sejam lamanya.


Tiba-tiba, Amangkurat I membicarakan peristiwa pembantaian itu. Dia mengatakan, para ulama itu terlibat dalam kudeta yang mengakibatkan Raden Mas Alit tewas. Dia juga curiga ada pembesar kerajaan yang terlibat.


Beberapa menit kemudian, dia menunjuk empat orang pembesar kerajaan. Mereka difitnah menjadi dalang kudeta Raden Mas Alit dan pembunuhan para ulama. Mereka lalu ditangkap dan dipaksa untuk mengakui apa yang tidak diperbuatnya.


Meski awalnya sempat mengelak, tetapi karena tidak adanya pembelaan, membuat keempat pembesar kerajaan itu dijatuhi hukuman mati. Hal ini dilakukan Amangkurat I agar namanya tetap besar dari teror dan pembunuhan.


Selama 30 tahun, Amangkurat I berhasil mempertahankan kekuasaannya di bumi Mataram. Namun, diakhir masa kekuasaannya, dia diguncang pemberontakan hebat dari Pengran Trunojoyo, hingga terusir dari istananya.


Raja Mataram yang terkenal tiran dan haus darah itu akhirnya meninggal di tempat pelarian, Desa Wanayasa, Banyumas, pada 13 Juli 1677. Jenazahnya lalu dimakamkan di Tegalwangi atau Tegalarum.


Sumber: harianmassa

Halaman:

Komentar