Penyidik TNI di RUU KKS Ancam Demokrasi!

- Sabtu, 04 Oktober 2025 | 15:10 WIB
Penyidik TNI di RUU KKS Ancam Demokrasi!



GELORA.ME -Pemerintah melalui Kementerian Hukum telah merampungkan penyusunan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) untuk diajukan ke DPR sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2026. 

Namun, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai substansi RUU tersebut masih menyimpan sejumlah persoalan serius. Menurutnya, meski terdapat perbedaan dari draf yang pernah dibahas pada 2019 maupun dokumen awal 2024, RUU ini tetap mengandung ancaman bagi demokrasi dan negara hukum. 

Salah satunya, rumusan tujuan keamanan dan ketahanan siber yang masih berorientasi pada kepentingan negara (state centric), tanpa memperhatikan aspek perlindungan individu.




Padahal, legislasi keamanan siber yang baik harus melindungi perangkat, jaringan, sekaligus individu sebagai penerapan pendekatan human centric. 

“Oleh karena, setiap ancaman dan serangan siber yang terjadi, pada akhirnya akan berdampak pada individu warga negara sebagai korbannya,” ujar Ardi dalam keterangan resminya yang dikutip redaksi di Jakarta, Sabtu, 4 Oktober 2025. 

Ardi juga menyoroti pasal-pasal tindak pidana baru dalam RUU KKS yang justru mencampuradukkan ranah keamanan siber dengan kejahatan siber. Ia menyebut, legislasi keamanan siber seharusnya hanya mengatur aspek teknis untuk mengamankan sistem komputer, sementara kejahatan siber memerlukan undang-undang tersendiri.

Yang paling mengkhawatirkan, lanjut Ardi, adalah diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d.  Menurut Ardi rumusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum.

Ia menilai pasal di RUU KKS tersebut merupakan bentuk intervensi militer dalam kehidupan sipil dan mencederai prinsip civilian supremacy. Selain bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, pelibatan militer dalam penyidikan dinilai berpotensi mengancam kebebasan sipil.

Ardi juga mengingatkan bahwa pasal tersebut memperlihatkan gejala militerisasi ruang siber yang sistematis. Hal ini sudah tampak sejak revisi UU TNI yang menambahkan tugas operasi militer selain perang, termasuk penanganan ancaman siber.

Lebih jauh, Ardi juga menyoroti belum adanya mekanisme akuntabilitas yang memadai. Hingga kini, UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi. Akibatnya, setiap pelanggaran pidana, termasuk yang dilakukan anggota TNI dalam konteks keamanan siber, tetap diproses melalui peradilan militer.

“Oleh karenanya pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” pungkasnya.

Sumber: RMOL 

Komentar