TNI AD Jaga Gedung DPR, Ramai Dikritik: Sesuai Aturan atau Intimidasi Rakyat?

- Minggu, 21 September 2025 | 16:20 WIB
TNI AD Jaga Gedung DPR, Ramai Dikritik: Sesuai Aturan atau Intimidasi Rakyat?




GELORA.ME - Penjagaan gedung DPR MPR RI di Senayan oleh TNI Angkatan Darat (AD) tengah memicu polemik di masyarakat.


Keputusan ini mendapat sorotan tajam dari koalisi masyarakat sipil yang menilai kehadiran tentara di parlemen justru memberi kesan intimidatif terhadap warga yang ingin menyampaikan aspirasi.


Di sisi lain, TNI AD memastikan bahwa pengamanan tersebut dilakukan sesuai ketentuan hukum, termasuk aturan yang tertuang dalam Undang-Undang TNI.


Menurut mereka, tugas ini hanyalah bentuk bantuan kepada kepolisian dan pemerintah, bukan pengambilalihan kewenangan sipil.


Polemik ini pun menyeret perhatian publik yang menilai ada pergeseran fungsi pertahanan negara ke ranah sipil. 


Perdebatan soal batasan kewenangan TNI dan Polri kembali mencuat ke permukaan.


TNI Sebut Sesuai Undang-Undang, Hanya Bantu Pengamanan


Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menegaskan bahwa pengerahan prajurit ke DPR sudah sesuai aturan.


Ia merujuk pada tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), yang salah satunya adalah membantu kepolisian menjaga objek vital negara.


“Prinsipnya kami bekerja sesuai dengan perundang-undangan. Ada 14 tugas TNI, termasuk operasi militer selain perang. Dalam hal ini, kami diminta membantu pengamanan objek vital dan situasi tertentu,” jelas Wahyu di kawasan Monas, Sabtu (20/9/2025).


Menurut Wahyu, TNI tidak mengambil alih peran polisi. Ia menyebut prajurit hanya hadir pada titik atau situasi tertentu atas permintaan pihak berwenang, dan sifatnya sementara.


Restu Menhan: DPR Disebut Simbol Kedaulatan Negara


Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin turut angkat bicara. Ia mengaku sudah menyetujui pengerahan TNI di Kompleks Parlemen


Menurutnya, DPR adalah simbol kedaulatan negara yang perlu dijaga.


“TNI akan menjaga simbol kedaulatan negara di DPR. Saya sudah menyetujui, dan Panglima akan menindaklanjuti bersama kepala staf,” ujar Sjafrie pada Selasa (16/9/2025).


Meski begitu, ia menyebut penjagaan ini bersifat situasional. “Sampai keadaan lebih kondusif. Tergantung penilaian situasi,” tambahnya.


Gelombang Kritik Masyarakat Sipil: TNI Dinilai Salah Fungsi


Langkah pemerintah ini langsung menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil, yang beranggotakan sejumlah lembaga seperti Imparsial, Setara Institute, PBHI, WALHI, hingga Koalisi Perempuan Indonesia.


Direktur Imparsial, Ardi Manto, menegaskan bahwa DPR bukanlah simbol kedaulatan negara, melainkan representasi rakyat. 


Menurutnya, sangat wajar jika DPR menjadi sasaran kritik ketika dianggap keliru.


“Menempatkan TNI di DPR memberi kesan intimidasi terhadap masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi,” kata Ardi dalam pernyataannya.


Ia juga mengingatkan bahwa urusan keamanan dan ketertiban masyarakat adalah domain kepolisian, bukan TNI. 


Pelibatan TNI dinilai melanggar konstitusi sekaligus mengaburkan fungsi utama tentara sebagai alat pertahanan negara.


Polemik Lama yang Kembali Muncul


Perdebatan tentang batasan peran TNI dan Polri bukan isu baru. 


Sejak reformasi, wacana supremasi sipil terus digaungkan, salah satunya dengan memisahkan fungsi TNI dan Polri pada 1999.


Namun, praktik di lapangan sering kali memperlihatkan area abu-abu, terutama dalam situasi politik sensitif atau ketika pemerintah ingin menegaskan wibawa negara.


Kehadiran TNI di DPR kini dinilai sebagai bagian dari pola lama yang berpotensi membuka ruang kembalinya dwifungsi.


Bagi masyarakat, persoalan ini bukan sekadar teknis hukum, melainkan soal rasa aman. 


Apakah tentara menjaga parlemen demi keamanan, atau justru menutup ruang kritik? Inilah pertanyaan besar yang kini bergema di ruang publik.


Kontroversi penjagaan gedung DPR oleh TNI membuka kembali diskusi tentang peran militer dalam ruang sipil.


Di satu sisi, pemerintah menegaskan langkah ini sesuai aturan hukum dan hanya bersifat bantuan. 


Di sisi lain, masyarakat sipil khawatir hal ini mencederai kebebasan berpendapat.


Ke depan, transparansi alasan pengerahan TNI menjadi kunci. 


Pemerintah perlu menjelaskan secara detail kapan, bagaimana, dan sampai kapan tentara dilibatkan agar polemik tidak semakin meluas.


Pada akhirnya, DPR sebagai rumah rakyat semestinya tetap terbuka bagi kritik. 


Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika ruang aspirasi tidak dibatasi, baik oleh pagar besi maupun seragam loreng.


Sumber: HukamaNews

Komentar