GELORA.ME - Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil, menyuarakan keresahannya terhadap wajah politik nasional yang kian pragmatis dan jauh dari nilai meritokrasi.
Menurutnya, demokrasi yang semula diharapkan memperkuat partisipasi rakyat kini justru kebablasan.
Sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam pemilu, kata dia, telah membuka jalan bagi selebriti dan pemilik modal besar untuk duduk di kursi parlemen, terlepas dari kapasitas maupun rekam jejaknya.
“Sekarang mungkin sudah saatnya kita berpikir membatasi demokrasi. Masalahnya, kenapa sistem kita memungkinkan orang-orang seperti itu duduk di parlemen?” ujar Gus Ulil dalam sebuah sebuah video yang diunggah di kanal YouTube The Authority mengutip Jumat, 12 September 2025.
Proporsional Terbuka dan Hancurnya Meritokrasi
Gus Ulil menilai sistem proporsional terbuka membuat partai politik lebih fokus mencari caleg populer dan kaya, ketimbang kader dengan integritas dan kompetensi.
Dampaknya, parlemen dipenuhi figur-figur instan yang lebih sibuk menjaga citra ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat.
“Sistem ini merusak moral politik masyarakat. Kita kehilangan meritokrasi di parlemen. Orang terpilih bukan karena kapasitas, tapi karena uang dan popularitas,” tegasnya.
Fenomena artis dan selebriti yang merambah politik bukanlah hal baru. Namun, Gus Ulil menekankan bahwa kecenderungan ini semakin meluas, hingga menggeser kader-kader yang seharusnya lahir dari proses kaderisasi partai yang sehat.
Politik Uang Jadi “Prostitusi Politik”
Lebih jauh, Gus Ulil menyoroti maraknya politik uang yang telah menjadi “budaya” dalam setiap pemilu. Bagi sebagian masyarakat, uang yang diberikan caleg dianggap sebagai rezeki yang memang menjadi hak rakyat setiap musim pemilu.
“Bahkan ada tokoh agama yang bilang, kesempatan rakyat dapat duit ya saat pemilu. Kalau dihalangi, dianggap melawan hak rakyat. Ini sudah seperti prostitusi politik. Sulit dihapus, hanya bisa diatur,” ungkapnya.
Kondisi ini, kata Gus Ulil, telah menurunkan standar moral politik secara drastis. Demokrasi yang seharusnya menjadi wadah partisipasi cerdas rakyat justru berubah menjadi arena transaksional antara pemilih dan calon.
Wacana Batasi Demokrasi
Dalam pandangan Gus Ulil, Indonesia harus berani mengevaluasi arah demokrasinya. Demokrasi yang terlalu liberal tanpa kontrol berpotensi merusak negara itu sendiri.
“Kebebasan itu bermakna karena ada Indonesia. Kalau rumah ini roboh, kebebasan tak ada artinya. Jangan sampai demokrasi yang kebablasan justru membakar rumah kita sendiri,” tegasnya. ***
Sumber: konteks
Artikel Terkait
Mahfud MD: Saraswati Cerdas tapi Jadi Korban Badai Politik DPR
Bursa Calon Menpora Memanas, Gema Sasmita jadi Sorotan Bersama Putri Komarudin dan Raffi Ahmad
Jokowi Akan Bertemu Budi Arie Yang Kena Reshuffle Prabowo, Mau Ngapain?
Bambang Tri Masuk Squad Usai Bebas Dari Penjara, RRT Makin Percaya Diri Bongkar Ijazah Jokowi!