Begitu pula PPATK yang memblokir jutaan rekening rakyat sejak Mei 2025. Dalihnya cegah kejahatan keuangan, tapi justru memutus akses dana masyarakat kecil. Ada biaya Rp100. 000 untuk membuka blokir rekening. Duit lagi!
Sri Mulyani tak kalah heboh. Penerapan pajak di bawah arahan Kemenkeu dianggap menjerat rakyat.
Bahkan sampai absurd: royalti atas rekaman suara jangkrik dan kicau burung di tempat usaha, yang dikelola LMKN, membebani pelaku UMKM. Semua dan semua dikenai pajak. Guyon publik menyebut, cuma kentut dan buang ludah yang belum kena pajak.
Di sisi lain, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan semua tanah milik negara. Ucapan sarkastiknya, “emang mbahmu bisa bikin tanah?”, memicu amarah. Meski kemudian minta maaf, citra pemerintah telanjur tercoreng.
Pola yang sama terlihat. Kebijakan lahir, rakyat marah, kemudian direvisi. Tapi dampak sosial dan politik sudah ditanam.
Pertanyaannya: apakah ini hanya inkompetensi, atau memang orkestrasi sistematis untuk membusukkan pemerintahan Prabowo dari dalam?
Indikasi menguat ketika PSI belakangan rajin menggaungkan narasi pemakzulan. Elite mereka lantang menuding Prabowo gagal, seperti yang beredar di X.
Kini, di jalanan, poster “Turunkan Prabowo” tiba-tiba muncul. Apakah kebetulan? Atau ada koneksi senyap antara narasi elit dan gerakan massa?
Hipotesisnya jelas: ciptakan narasi kegagalan Prabowo. Kalau bisa, kaitkan dengan isu kesehatan dan ketidakpekaan terhadap rakyat.
Ujungnya membuka jalan bagi Gibran naik ke kursi tertinggi lewat jalur pemakzulan atau transisi politik paksa.
Turunkan Prabowo Naikkan Gibran
Pola, jejak, dan keterhubungan narasi sulit diabaikan. Ada aksi di jalan. Ada PSI yang rajin bunyi pemakzulkan Prabowo. Ada gerombolan menteri yang membusukkan dari dalam. Dan, ada “Solo” sebagai komandan.
Seperti puzzle yang belum lengkap. Tapi gambar besar mulai terbentuk. Ini perlu investigasi independen untuk mengungkap kebenaran.
Yang pasti, aksi 25 Agustus adalah alarm keras. Prabowo harus sadar, rakyat benar-benar terhimpit. Pajak mencekik, harga melambung, subsidi semrawut.
Amarah bisa meledak kapan saja, dengan atau tanpa komando. Jika ia biarkan pengaruh lama bercokol, reputasinya akan terus digerus.
Solusinya dua arah. Pertama, bersihkan kabinet dari figur bermasalah. Jangan biarkan menteri-menteri yang titipan penguasa lama menjerumuskan pemerintahan. Kedua, turun langsung ke rakyat.
Dengarkan keluh kesahnya. Kurangi pajak berat, sederhanakan regulasi, percepat bantuan sosial.
Wujudkan transparansi dan percepat UU perampasan aset. Itu akan jadi bukti nyata keberpihakan pada rakyat kecil.
Demo 25 Agustus adalah cermin. Apakah kita biarkan ketidakpuasan menjelma konflik? Atau kita jadikan katalis perubahan?
Jawabannya ada pada kepemimpinan tegas, dialog bijak, dan keberanian membersihkan sisa-sisa Geng Solo dari lingkar kekuasaan. ***
Artikel Terkait
DPR Kena Prank? Dana Reses Rp702 M Bikin Warga Geram, Ternyata Ini Alasannya!
Prabowo vs Geng Solo: Rakyat Dukung Penuh Pemberantasan Korupsi!
Profesor Ikrar Bongkar Bahaya Legacy Jokowi: Syarat Wapres Tak Lulus SMP Ancam Masa Depan Indonesia!
Ijazah Jokowi & Gibran Diklaim Palsu, Iwan Fals Beri Sindiran Pedas!