Putusan itu pula yang membuat istilah “nepotisme konstitusional” ramai di media.
Namun kini, dengan Gibran sudah menjabat dan menjadi bagian dari eksekutif, langkah pemakzulan tentu bukan hanya soal legal-formal, tapi juga legitimasi politik.
“Kalau Gibran dimakzulkan, itu bukan hanya soal Gibran. Itu juga akan menjadi koreksi besar terhadap seluruh proses Pilpres 2024. Artinya, ada implikasi ke Prabowo, ke Mahkamah Konstitusi, dan bahkan ke citra demokrasi Indonesia secara keseluruhan,” ujar Amir.
Amir Hamzah menyebut, salah satu faktor yang membuat isu pemakzulan ini bagaikan permainan Abu Nawas adalah karena Gibran bukan figur politik mandiri sepenuhnya.
Ia berdiri di atas jaringan kekuasaan yang kuat – mulai dari pengaruh mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kekuatan oligarki ekonomi, hingga afiliasi dengan kelompok sipil tertentu yang kini mengisi banyak jabatan strategis di pemerintahan.
“Mereka yang mendorong pemakzulan harus paham, ini bukan sekadar menjatuhkan sosok Gibran. Tapi menyentuh kepentingan besar dan kompleks yang menopangnya. Jika ini dijadikan alat tawar-menawar politik, efeknya bisa liar,” kata Amir menegaskan.
Kini, DPR berada dalam posisi krusial. Di satu sisi, mereka memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti laporan dari masyarakat, termasuk forum purnawirawan.
Namun di sisi lain, langkah pemakzulan bisa menjadi bumerang politik.
Apalagi, tidak semua partai politik di parlemen satu suara dalam menyikapi posisi Gibran.
Beberapa fraksi bahkan memilih diam atau menunggu sikap dari elite partai masing-masing.
Sementara publik terus memantau, sebagian dengan skeptis, sebagian dengan harapan agar DPR tidak sekadar menjadi stempel kekuasaan.
👇👇
[VIDEO ILC]
Sumber: SuaraNasional
Artikel Terkait
Jokowi Dituding Sebagai Biang Kerok Melemahnya Penegakan Hukum di Indonesia
Ahmad Sahroni Didekati PSI Jadi Dewan Penasihat? Ini Kata Bro Ron!
Dokter Tifa Bongkar Kejanggalan Salinan Ijazah Jokowi di KPU, Ini Fakta yang Terungkap!
Gugatan Perdata Gibran Resmi Dilimpahkan ke Meja Hijau, Ini Poin Sengketa