Perspektif Hukum Meme Presiden Prabowo-Jokowi Versi Pakar Pidana Universitas Trisakti

- Selasa, 13 Mei 2025 | 15:45 WIB
Perspektif Hukum Meme Presiden Prabowo-Jokowi Versi Pakar Pidana Universitas Trisakti

Pengamatannya, sindiran yang memuat gambar serupa sebetulnya bukan barang baru—terutama di negara-negara Barat.


Jauh sebelumnya, gambar mural Presiden AS Donald Trump berciuman dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Lithuania sempat viral pada 2016.


"Gambar itu juga bentuk kritik karena Trump dianggap terlalu tunduk dan lunak pada Rusia sehingga membiarkan banyak kepentingan Rusia dalam perang di Ukraina dan menguntungkan Rusia," jelas Harza.


Mundur lagi ke belakang, pada 1990, sebuah fragmen di Tembok Berlin memuat adegan berciuman antara Pemimpin Jerman Timur Erich Honecker dan Pemimpin Soviet Leonid Brezhnev.


Mural itu, menurut Harza, juga mengandung sindiran atas tekanan yang dirasakan oleh warga Jerman Timur di bawah pemerintahan komunis.


"Itu juga semacam bentuk sindiran pada zamannya, walaupun belum ada kecerdasan buatan tapi bentuk seni seperti itu sudah ada sejak lama dan di dunia Barat dianggap sah-sah saja dan biasa."


Masalahnya di Indonesia, kata Harza, meme semacam itu oleh sebagian masyarakat yang menjunjung tinggi ketokohan dan maskulinitas dipandang berbeda.


Mereka, sebutnya, tak terbiasa melihat dua laki-laki berciuman. Apalagi keduanya merupakan tokoh besar di Indonesia. 


Sehingga meme Prabowo dan Jokowi itu, tak lagi dilihat sebagai sindiran atau kritik, namun kesusilaan.


"Mereka jadi enggak fokus sama kritiknya, malah fokus pada gambarnya yang seolah-olah hanya untuk menyerang seksualitas dua tokoh tersebut."


"Padahal kalau kita lepaskan konteks itu, sebenarnya [meme] itu sedang mengkritik demokrasi Indonesia saat ini."


Apakah layak dipidana?


Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), M Fatahillah Akbar, mengatakan kasus meme tersebut sebetulnya tidak perlu diseret ke ranah pidana.


Sebab, katanya, tak ada unsur melanggar kesusilaan maupun memanipulasi dokumen elektronik.


Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.


Ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.


Akbar menyebut yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" memuat tiga hal: "perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual" yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.


Dalam konteks itu, gambar berciuman tidak bisa dimasukkan dalam ketiganya. Ini karena perbuatan "ciuman" antara Prabowo dan Jokowi tidak pernah terjadi.


"Dan di berbagai negara, meme berciuman seperti itu dimasukkan sebagai bentuk kritik," imbuhnya.


"Jadi menurut saya tidak memenuhi unsur melanggar kesusilaan."


Sedangkan, Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU ITE, mengatur tentang kejahatan orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.


Ancaman pidana bagi yang melanggar pasal ini adalah penjara maksimal 12 tahun dan atau denda paling banyak Rp12 miliar.


Kampus ITB


Untuk pasal ini, Akbar juga berpandangan sama bahwa meme tersebut jelas-jelas bikinan kecerdasan buatan, bukan hasil manipulasi dari data yang asli atau autentik.


"Contoh yang pas untuk pasal itu adalah misalkan waktu pandemi Covid-19, kita diwajibkan [untuk] vaksin dan membuktikan lewat sertifikat vaksin. Tapi ternyata kita belum vaksin dan ingin bikin sertifikat yang seolah-olah sudah vaksin..."


"Caranya kita ubah sertifikat asli milik orang lain, jadi seolah-olah punya kita dan dipercaya."


"Nah itu yang dimaksud memanipulasi informasi atau dokumen elektronik. Dalam konteks meme ini, kan sudah clear bahwa dia menggunakan AI dan orang awam pun tahu gambar itu palsu."


Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, sependapat. 


Ia bahkan menilai polisi hanya mencari-cari celah untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil yang menyuarakan kritik setelah pasal 'karet' pencemaran nama baik dalam UU ITE diperketat oleh Mahkamah Konstitusi.


Dalam putusan terbaru MK menyatakan institusi pemerintah dan pejabat tidak boleh mengadukan laporan dugaan pencemaran nama baik demi kontrol publik yang dijamin dalam negara hukum yang demokratis.


"Sekarang polisi memakai pasal baru yang dipaksakan untuk membungkam kritik. Padahal meme tersebut sudah jamak dijadikan sebagai kritik para pemimpin negara kan?" imbuh Maidina.


"Meme itu jelas kritik atas kondisi saat ini, di mana Presiden Prabowo belum bisa lepas dari bayang-bayang Jokowi."


Atas dasar itulah Maidina dan Akbar mendesak polisi menghentikan perkara ini. Bukan hanya menangguhkan penahanan tersangka mahasiswi ITB tersebut.


"Kalau ditangguhkan penyidikan tetap berjalan, tapi mudah-mudahan polisi melakukan SP3 [penghentian perkara] karena tidak memenuhi unsur," ujar Akbar.


Setelah penangkapan mahasiswa ITB oleh kepolisian membuat heboh publik, sejumlah akun membuat dan menyebarkan meme bikinan kecerdasan buatan yang memuat "kemesraan" Prabowo dan Jokowi.


Salah satunya digambarkan dengan Prabowo dan Jokowi yang tidur berdampingan di atas kasur. Keduanya sama-sama mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek biru.


Peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Teuku Harza Mauludi, mengatakan meme-meme semacam itu tidak bisa dihentikan di tengah maraknya penggunaan kecerdasan buatan.


Apalagi, sambungnya, generasi muda saat ini berpandangan bahwa mereka lahir dengan hak kebebasan berpendapatan.


"Berbeda dengan generasi di masa Orde Baru yang paham betul konsekuensi ketika mengkritik secara terbuka, sehingga cenderung lebih berhati-hati," jelas Harza.


"Generasi Z atau Alpha ini merasa kebebasan berpendapat itu sesuatu yang taken for granted, yang sejak lahir sudah menjadi haknya, ditambah lagi dengan perkembangan teknologi dan media sosial."


Itu mengapa, menurut Harza, sudah sepatutnya politikus maupun pejabat publik "membiasakan diri" menghadapi kritik gaya baru seperti yang dilakukan mahasiswi ITB tersebut.


Sebab pada dasarnya, kritik tidak akan muncul jika masyarakat tak cemas pada isu-isu yang berkaitan dengan publik. 


Ia juga mengingatkan bahwa kritik jangan dilihat sebagai sebuah kebencian yang bersifat personal.


"Tapi ada alasan di belakangnya atas apa yang dilakukan pemerintah, baru kemudian kritik muncul.Jadi semakin banyak meme atau kritik muncul, ya seharusnya jadi ajang refleksi buat para pejabat, berarti ada yang salah di dalam pengelolaan urusan-urusan publik. Dengan begitu demokrasi kita tumbuh, karena yang namanya demokrasi butuh input."


"Selama Anda pejabat publik, harus sadar bahwa Anda tidak imun terhadap kritik. Kritik ada memang karena jabatan yang Anda ampu," imbuhnya. 


Sumber: MonitorIndonesia

Halaman:

Komentar