Menguji Komitmen Prabowo Pada RUU Perampasan Aset: Akankah Jadi Realita atau Cuma Omon-Omon?

- Senin, 05 Mei 2025 | 13:55 WIB
Menguji Komitmen Prabowo Pada RUU Perampasan Aset: Akankah Jadi Realita atau Cuma Omon-Omon?


'Nyanyian' soal RUU Perampasan Aset kembali terdengar. Kali ini datang dari Presiden Prabowo Subianto. Ia menyatakan dukungannya agar RUU segera disahkan.


Namun, ini bukan pertama kali dukungan terdengar. Presiden sebelumnya, Joko Widodo, juga pernah menyuarakan hal serupa. Faktanya, hingga kini, RUU tak kunjung jadi undang-undang.


Prabowo sempat berkata, pengesahan RUU ini jangan cuma jadi "omon-omon". Harus ada langkah nyata. Bila sulit mengonsolidasikan DPR, ia bisa menempuh jalur lain: menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).


GELORA.ME - Di hadapan ribuan buruh yang memadati kawasan Monas, Jakarta, Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap RUU Perampasan Aset. 


Pernyataan itu disampaikan saat peringatan May Day, Kamis (1/5/2025), dan langsung disambut sorak-sorai massa buruh dari berbagai serikat pekerja.


“Saudara-saudara, dalam rangka pemberantasan korupsi, saya mendukung undang-undang perampasan aset. Enak saja sudah nyolong enggak mau kembalikan aset. Gue tarik saja-lah itu. Setuju?” teriak Prabowo lantang.


Pesan yang ingin ia sampaikan jelas perlawanan terhadap korupsi. Prabowo menegaskan bahwa kekayaan negara harus kembali ke rakyat dan dijaga demi kelangsungan hidup bersama.


Namun, publik tak ingin hanya mendengar janji. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menilai pernyataan Prabowo harus dibuktikan dengan aksi nyata. Apalagi, ini bukan pertama kalinya Prabowo melontarkan janji pemberantasan korupsi. 


Dari ancaman mengejar koruptor hingga ke Antartika, sampai pernyataan ‘memaafkan koruptor asal mengembalikan uang’, semuanya masih berupa retorika.


"Yang ditunggu sekarang adalah langkah konkret. Jangan berhenti di omon-omon,” tegas Zaenur saat dihubungi, Jumat (2/5/2025).


Ketua IM57 Institute Lakso Anindito turut menyampaikan hal serupa. Pihaknya menunggu aksi nyata dari pernyataan itu. 


Lakso menegaskan perkataan itu akan menjadi baik, ketika direalisasikan. 


"Dan tidak sekedar menjadi retorika belaka," katanya.


Keraguan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya presiden sebelumnya, Joko Widodo atau Jokowi juga sempat beberapa kali menyampaikan desakan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan  DPR. 


Misalnya, pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 12 Desember 2023, Jokowi menyebut penting agar RUU itu segera disahkan menjadi undang-undang. Sebab RUU itu suatu mekanisme  memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. 


"Tetapi sampai akhir jabatannya (Jokowi) RUU Perampasan Aset tidak kunjung terealisasi," ujar Lakso. 


Terbitkan Perpu


Prabowo tak bisa hanya lempar tanggung jawab ke DPR. Begitu kata Laksanto Utomo, peneliti dari Pukat UGM. Sebagai Presiden, Prabowo punya ruang gerak lebih luas.


Buktinya, revisi UU TNI, UU Minerba, dan UU BUMN bisa melaju cepat. 


Semua karena ada dorongan kuat dari pemerintah. Maka, untuk RUU Perampasan Aset, dorongan serupa sangat mungkin dilakukan.


Zaenur Rohman sependapat. Menurutnya, Prabowo bisa mengonsolidasikan para ketua umum partai politik. 


Toh, mayoritas anggota DPR saat ini berasal dari partai koalisi pendukungnya. Dukungan politik sudah di tangan, tinggal kemauan untuk bertindak.


"Kalau presiden yang kumpulkan, yang dorong langsung, bisa efektif. RUU TNI kemarin buktinya cepat kilat,” ujar Zaenur.


Namun, jika konsolidasi partai terasa berat, masih ada opsi lain terbitkan Perppu. Langkah ini sah secara hukum, dan menunjukkan komitmen nyata.


Prabowo juga tak bisa berdalih bahwa proses masih di tangan DPR. Pada era Jokowi, surat presiden untuk pembahasan RUU ini sudah pernah dikirim ke DPR—tepatnya pada 4 Mei 2023, dengan nomor R-22/Pres/05/2023.


Zaenur mengingatkan, DPR adalah lembaga politik. Wajar bila mereka punya kepentingan—atau bahkan ketakutan.


“DPR tampak khawatir. Seolah takut RUU ini jadi senjata makan tuan,” kata Zaenur.


Dinamika di DPR


Keraguan terhadap DPR bukan tanpa dasar. Konsolidasi partai oleh Prabowo jadi penting karena manuver politik di parlemen kerap tak bisa ditebak.


Contohnya pada Maret 2023. Saat itu, Komisi III DPR menggelar rapat dengan Kemenko Polhukam. Mahfud MD, sebagai Menko Polhukam kala itu, meminta agar RUU Perampasan Aset segera disahkan.


Responsnya mengejutkan. Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, Ketua Komisi III DPR saat itu, justru menyampaikan pernyataan yang menyiratkan betapa transaksionalnya proses legislasi.


"Republik di sini nih gampang Pak, di Senayan ini. Lobby-nya jangan di sini Pak. Ini di sini nurut bosnya masing-masing,” ujarnya. 


Maksudnya jelas: restu dari ketua umum partai lebih menentukan ketimbang argumentasi hukum atau kepentingan publik.


Artinya, pembahasan RUU ini bisa saja melesat cepat asal para ketua umum partai setuju. Inilah alasan kuat kenapa Prabowo perlu turun tangan langsung.


RUU Perampasan Aset sendiri bukan isu baru. Wacana ini sudah muncul sejak 2003, dimotori oleh PPATK. 


Naskah awalnya disusun pada 2008, di era Presiden SBY. Yenti Garnasih pakar tindak pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, terlibat dalam penyusunannya.


Proses penyusunan bahkan sempat memicu perdebatan. Soalnya, muncul perbedaan pandangan: apakah judulnya sebaiknya “perampasan aset” atau “pemulihan aset”.


Namun, begitu masuk ke DPR, pembahasannya menguap. Menurut Yenti, pada 2009-2010 yang bertepatan dengan tahun politik RUU itu praktis tak lagi dibahas.


“Langsung tidak konsen lagi. Pikiran mereka hanya pemilu saat itu,” ujarnya.


Selama dua dekade pemantauan, Yenti menyimpulkan: hambatan utama ada di parlemen. 


Banyak anggota DPR yang enggan membahas RUU ini karena merasa terancam.


Karenanya, ia menilai penting bagi Prabowo untuk mendorong partai koalisi agar segera mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang. 


Tanpa dorongan itu, pembahasan bisa kembali menghilang di tengah kepentingan politik jangka pendek.


Mengapa UU Perampasan Aset Penting?


RUU Perampasan Aset bisa jadi terobosan krusial dalam pemberantasan korupsi. 


Bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi juga mengembalikan kerugian negara secara konkret.


Yenti Garnasih, pakar tindak pidana pencucian uang, menegaskan urgensinya. 


Menurutnya, aturan ini memungkinkan aparat seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri menyita aset pelaku korupsi—meskipun pelaku telah melarikan diri atau meninggal dunia.


Dasarnya? Prinsip non-conviction based confiscation. Artinya, negara bisa menggugat langsung aset hasil kejahatan, tanpa perlu menunggu vonis pengadilan terhadap orangnya.


“Gugatannya ke barangnya, bukan ke pelakunya,” kata Yenti.


Lebih jauh, aparat bisa merampas harta penyelenggara negara yang tak wajar. 


Jika seorang pejabat punya kekayaan yang tak sebanding dengan penghasilan dan tak bisa membuktikan asal-usulnya, maka aset tersebut dapat disita untuk negara.


Efeknya sangat besar. Mengutip Hukumonline.com, RUU ini bisa memangkas waktu dan biaya penanganan perkara. 


Selama ini, proses penyitaan aset lewat jalur pidana penuh hambatan dan memakan waktu lama.


Selain itu, mekanisme substitusi aset juga diatur. Jika aset hasil kejahatan berada di luar negeri dan sulit dijangkau, maka bisa digantikan dengan aset lain yang nilainya setara.


Namun, kata Yenti, penyusunan aturan harus jelas. Termasuk ke mana aliran aset yang telah dirampas akan disalurkan. Jangan sampai sekadar kembali ke kas negara tanpa kejelasan peruntukan.


Ia mencontohkan kasus korupsi proyek BTS Kominfo. Nilai proyeknya Rp10 triliun, namun Rp8 triliun dikorupsi. 


Idealnya, kata Yenti, aset yang disita dari para terpidana harus dikembalikan ke Kominfo agar proyek bisa dilanjutkan.


“Jangan sampai proyek mangkrak karena anggarannya dikorupsi. Negara tetap punya tanggung jawab untuk melayani kebutuhan publik,” ujarnya.


RUU ini bukan cuma soal hukum. Ini soal keadilan. Soal sejauh mana negara, lewat aparat hukumnya, sungguh-sungguh memulihkan kerugian rakyat akibat korupsi.


“Kelihatan nanti, penegak hukum ini beneran bagus enggak? Optimal enggak dalam memulihkan uang negara yang dicuri?” tutup Yenti.


Sumber: Suara

Komentar