IRONI! Narasi Deddy Corbuzier dan Stimatisasi Kritik: Cara Lama Bungkam Masyarakat Sipil

- Rabu, 19 Maret 2025 | 13:50 WIB
IRONI! Narasi Deddy Corbuzier dan Stimatisasi Kritik: Cara Lama Bungkam Masyarakat Sipil


Terlebih, kritik yang disampaikan menyangkut proses pembuatan undang-undang yang berdampak luas bagi masyarakat. 


Jamiluddin khawatir, labeling seperti ini bisa meluas dan menyasar siapa saja yang berani mengkritik kebijakan pemerintah.


"Orang-orang yang selalu memberi stigma negatif kepada masyarakat yang mengkritik, menurut saya, tidak layak hidup di negara demokrasi. Mereka lebih cocok tinggal di negara otoriter," tegasnya.


Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad—anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan—menyebut stigma yang disematkan kepada rekan-rekannya yang menggerebek rapat tersembunyi RUU TNI adalah pola lama yang kerap digunakan terhadap masyarakat sipil yang mengkritik kebijakan pemerintah dan DPR.


"Itu tuduhan-tuduhan basi. Polanya selalu sama. Kalau bukan PKI, ya, antek asing. Dari dulu begitu saja," kata Hussein.


Menurutnya, TNI yang berjiwa kesatria tidak akan melakukan hal semacam itu. Ia menilai akun-akun yang mengunggah video tersebut perlu diperiksa lebih lanjut.


Berdasarkan penelusuran Suara.com, salah satu akun, @kodam.ix.udayana, terverifikasi oleh Instagram dengan tanda centang biru. 


Akun ini memiliki 31,7 ribu pengikut dan telah mengunggah 12,9 ribu konten. Beberapa di antaranya menampilkan aktivitas Penerangan Kodam IX/Udayana.


Hussein menegaskan, perlu dipertanyakan apakah unggahan video tersebut dibuat atas perintah atasan. 


Jika benar, ia mengingatkan pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Maruli Simanjuntak yang menyebut pengkritik RUU TNI sebagai "orang kampungan."


"Kata-kata Pak Maruli soal kampungan itu mestinya lebih cocok disematkan kepada, misalnya, pimpinan yang memerintahkan unggahan tersebut," ujar Hussein.


Deddy Tak Layak Jadi Staf Khusus


Jamiluddin menyoroti narasi yang dibangun Deddy dalam videonya. 


Stigma anarkis dan ilegal yang ia sematkan menunjukkan minimnya pemahaman tentang prinsip demokrasi. 


Alih-alih menjawab keresahan publik, pernyataannya justru memperkeruh keadaan.


Menurut Jamiluddin, hal ini membuktikan Deddy tak layak menjadi staf khusus di bidang komunikasi sosial dan publik, apalagi di lembaga strategis seperti Kementerian Pertahanan.


Sejak awal, kapabilitas Deddy sudah diragukan. Namun, Kementerian Pertahanan tetap mengangkatnya. 


Mereka mengklaim Deddy punya kapasitas karena pengaruhnya sebagai podcaster dan pemilik jaringan YouTube Close The Door yang memiliki jutaan pelanggan.


Gaya komunikasi Deddy pun sering disorot. Salah satu contohnya saat ia merespons keluhan seorang anak SD tentang program makan bergizi gratis. 


"Kurang enak, kurang enak, kepala elu pea, kurang enak ayamnya," ujar Deddy dalam video yang beredar sebelum ia diangkat sebagai staf khusus.


Komika Pandji Pragiwaksono juga menanggapi. Ia setuju bahwa narasi Deddy tak menjawab persoalan utama. 


Namun, menurutnya, pernyataan itu bukan inisiatif pribadi Deddy, melainkan perintah dari Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.


"Dia disuruh atasannya, Menteri Pertahanan kita, Pak Sjafrie. Kalau mau protes, ya ke Pak Menteri. Kenapa staf khusus Bapak malah fokus soal penerobosan rapat?" kata Pandji lewat video di akun Instagramnya, @pandji.pragiwaksono, Senin (18/3/2025).


Menurut Pandji, ada pertanyaan yang lebih mendesak. Mengapa rapat digelar di hotel bintang lima, bukan di gedung DPR? Jika benar hanya membahas tiga pasal, seperti klaim Komisi I DPR dan pemerintah, kenapa harus tertutup dan berlangsung berhari-hari?


Selain itu, Pandji menilai seharusnya Deddy menjelaskan nasib anggota TNI aktif yang kini bertugas di lembaga sipil. 


Apalagi, mereka tidak termasuk dalam 16 institusi yang disebut dalam revisi UU TNI.


"Terus gimana? Berhenti? Itu yang harusnya dijelaskan. Jangan cuma soal penerobosan rapat, itu mah gampang," tegas Pandji.


Sumber: Suara

Halaman:

Komentar