Redenominasi Rupiah 2025-2029: Kritik Prof Ferry, Tanggapan Pemerintah, dan Dampaknya

- Senin, 17 November 2025 | 20:50 WIB
Redenominasi Rupiah 2025-2029: Kritik Prof Ferry, Tanggapan Pemerintah, dan Dampaknya

Redenominasi Rupiah 2025-2029: Kritik Prof Ferry Latuhihin dan Tanggapan Pemerintah

Pengamat Ekonomi, Prof Ferry Latuhihin, memberikan tanggapan kritis terhadap rencana redenominasi rupiah yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2025–2029. Menurutnya, kebijakan penyederhanaan nominal mata uang ini harus didasari oleh alasan yang kuat dan kebutuhan yang mendesak, bukan hanya sekadar wacana tanpa fondasi yang jelas.

Fungsi Uang dan Urgensi Redenominasi

Dalam analisisnya, Prof Ferry menekankan bahwa redenominasi yang ideal harus menyentuh tiga fungsi utama uang: sebagai alat tukar, alat penyimpan nilai, dan satuan hitung (unit of account). Ia mempertanyakan urgensi kebijakan ini jika hanya satu fungsi, yaitu satuan hitung, yang terpengaruh tanpa alasan yang jelas dari dunia usaha.

"Pertanyaannya, apa urgensinya? Kalau tidak ada urgensi dan bisnis tidak merasa terganggu dalam transaksi? Uang itu punya tiga fungsi," ujar Prof Ferry. "Yang disentuh kalau 3 nol dihilangkan itu hanya unit of account. Dua fungsi lainnya tidak tersentuh."

Perbandingan dengan Redenominasi Era 1960-an

Prof Ferry kemudian membandingkan rencana saat ini dengan redenominasi yang terjadi pada era 1960-an di masa Presiden Soekarno. Saat itu, Bank Indonesia disebut terlalu banyak mencetak uang untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, yang berujung pada inflasi sangat tinggi, mencapai 650 persen. Kondisi krisis tersebut menjadi alasan yang kuat dan logis untuk melakukan redenominasi.

"Pada tahun 60-an, BI terlalu banyak mencetak uang untuk proyek-proyek mercusuar. Inflasi saat itu 650 persen. Itu ada alasan untuk melakukan redenominasi," jelasnya. "Nah, kalau sekarang tidak ada alasannya."

Pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa

Halaman:

Komentar