Agus menjelaskan perbedaan mendasar antara model kerja sama Jepang dan Tiongkok dalam proyek infrastruktur.
"Kalau kita bicara loan Jepang itu memang detail banget dan ribet, tapi setelah selesai ya beres kayak MRT. Kalau Cina kebalikannya, gampang di depan, sekarang susahnya di belakang," katanya.
Ia menambahkan bahwa Jepang sebenarnya sudah melakukan studi awal yang sangat komprehensif. "Jepang sudah bikin studi lebih dulu, satu buku tebal, dan itu dikasihkan, tapi akhirnya dibongkar sama Cina karena dianggap lebih murah. Bunganya waktu itu cuma 0,1 persen, dan break even point-nya 40 tahun," ungkap Agus.
Peringatan yang Tidak Didengar
Kini, setelah proyek kereta cepat terbukti menimbulkan beban finansial besar, Agus mengaku hanya bisa mengingatkan kembali apa yang pernah ia sampaikan hampir satu dekade lalu.
Menurutnya, Indonesia belum membutuhkan kereta cepat pada saat itu, dan keputusan itu diambil tanpa perhitungan matang terhadap biaya serta dampaknya terhadap ekonomi nasional.
Kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kajian mendalam dalam proyek infrastruktur strategis, serta pertimbangan matang terhadap dampak jangka panjang dari sebuah keputusan.
Artikel Terkait
Said Didu Bongkar Nasib Purbaya di Kabinet Prabowo: Menteri Koboi Bertahan atau Tumbang?
Dokter Priguna Dituntut 11 Tahun Bui & Restitusi Rp137 Juta, Ini Modus Pemuaskan Nafsu di RSHS Bandung
Purbaya Yudhi Sadewa: Daya Beli Masyarakat Meningkat, Ini Bukti dan Dampaknya
Kemenhaj Pangkas Syarikah Haji 2026 Jadi Hanya 2 Perusahaan, Ini Dampaknya