Legislatif dan Eksekutif Mulai Membuka Diri: Jalan Menuju Adili Jokowi & Makzulkan Gibran!

- Minggu, 07 September 2025 | 12:00 WIB
Legislatif dan Eksekutif Mulai Membuka Diri: Jalan Menuju Adili Jokowi & Makzulkan Gibran!


Legislatif dan Eksekutif Mulai Membuka Diri: Jalan Menuju 'Adili Jokowi & Makzulkan Gibran'!


Fenomena terbaru di ruang politik nasional memperlihatkan gejala yang menarik: baik lembaga legislatif maupun eksekutif mulai membuka diri terhadap aspirasi publik. 


Pertemuan pemerintah dengan mahasiswa di Istana Negara, misalnya, adalah simbol bahwa suara kritis tak lagi sepenuhnya dipinggirkan.


Namun, jika dicermati lebih dalam, keterbukaan ini sesungguhnya bisa dibaca sebagai jalan menuju babak yang lebih fundamental: tuntutan “adili Jokowi” dan “makzulkan Gibran” yang kian terasa sebagai sebuah keniscayaan.


Membaca Sinyal Politik


Selama satu dekade kepemimpinan Jokowi, banyak catatan buram yang meninggalkan luka mendalam bagi demokrasi


Mulai dari pelemahan lembaga antikorupsi, persekongkolan politik yang mematikan oposisi, hingga praktik nepotisme yang terang benderang dengan hadirnya Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden. 


Jika dulu kritik terhadap Jokowi ditutup rapat oleh sistem kekuasaan yang solid, kini benteng itu perlahan retak.


Legislatif yang biasanya tunduk pada arus dominan mulai berani menggelar wacana kritis. 


Eksekutif pun, dengan membuka pintu dialog bagi mahasiswa, sebenarnya sedang mengakui adanya tekanan moral yang tak bisa lagi diabaikan. 


Inilah sinyal awal: bahwa arah politik bangsa sedang bergeser.


Dari Keterbukaan Menuju Pertanggungjawaban


Keterbukaan dalam politik bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk menuju pertanggungjawaban. 


Publik tidak hanya membutuhkan ruang untuk bicara, tetapi juga keadilan atas kebijakan yang menyimpang. 


Jokowi harus dipanggil ke ruang pengadilan moral, bahkan konstitusional, untuk menjawab jejak kesalahan yang ditinggalkan.


Demikian pula dengan Gibran. Kehadirannya sebagai wakil presiden dianggap sebagai produk manipulasi politik dan penyalahgunaan hukum konstitusi. 


Jika sistem benar-benar mulai berani membuka diri, maka langkah berikutnya tak terhindarkan: proses pemakzulan harus dipertimbangkan sebagai koreksi sejarah.


Keniscayaan yang Tak Bisa Ditawar


Ada pepatah politik: “sekali pintu dibuka, udara bebas akan masuk dengan deras.” Begitu pula dalam konteks ini. 


Begitu legislatif dan eksekutif membuka diri terhadap aspirasi mahasiswa dan rakyat, gelombang kritik akan semakin tak terbendung. Dari wacana transparansi, akan lahir desakan akuntabilitas. 


Dari akuntabilitas, akan tumbuh tuntutan pertanggungjawaban. Dan pada akhirnya, pertanggungjawaban itu bermuara pada dua kata tegas: adili Jokowi, makzulkan Gibran.


Kesadaran ini bukan sekadar retorika politik, melainkan keniscayaan sejarah. Demokrasi yang terciderai selama satu dekade terakhir menuntut pemulihan. 


Dan pemulihan itu tak bisa hanya dilakukan dengan dialog kosong, melainkan melalui keberanian menegakkan keadilan pada penguasa yang menyalahgunakan amanah rakyat.


Sumber: FusilatNews

Komentar