Padahal jumlah BUMN di 2019 sebanyak 117 BUMN, sudah berkurang menjadi 75 BUMN tapi liabilitas BUMN naik terus.
Meski raport merah tersebut kerap berseliweran diberbagai pemberitaan media massa (on-line, cetak, tv, radio) tak membuat publik bergeming apalagi melakukan demo ke BUMN.
Publik malah melampiaskan kemarahannya ke lembaga yang notabenenya merepsentasikan kepentingan atau aspirasinya yakni DPR RI.
Tentu saja fenomena tersebut memantik pemikiran para analis yang menganggap adanya anomali yang terjadi di alam pikir publik.
Berangkat dari hal itu, Akademisi Universitas 17 Agustus, Fernando Emas menilai, fenomena kemarahan publik terhadap lembaga DPR di satu sisi dan pasif terhadap BUMN di lain sisi itu terjadi karena adanya bias informasi yang mereka terima selama ini.
"Saya kira letak perbedaannya ini soal strategi media branding yang dimiliki dua lembaga tersebut. DPR mungkin media branding-nya atau dalam menjelaskan isu-isu strategis kurang menyentuh sisi emosional publik," kata Fernando, Selasa (26/8/2025).
"Sementara media branding yang dilakukan BUMN mampu menenggelamkan sisi rasional atau nalar publik. Ditambah adanya troll (setan gundul di dunia maya), para demagog yang mampu mendrive (menggosok-gosok sisi rasa/emosional) isi pikiran atau nalar publik," tambahnya.
Fernando yang notabenenya sebagai akademisi yang fokus mengamati dan menganalisis pola perilaku publik di tengah era digital saat ini mengaku semakin tertantang untuk memahami lebih jauh soal begitu mudahnya publik terpantik kemarahannya akibat informasi yang masih bersifat bias yang mereka terima dari dunia maya.
"Saya sebagai peneliti sosial tentu saja sangat antusias (untuk dipelajari dan dianalisis) melihat fenomena ini (kemarahan publik pada DPR terkait tunjangan rumah dinas). Demo kemarin saya kira tidak terlepas dari informasi yang kurang utuh yang sampai ke publik.
Padahal, lanjut dia, kalau mau melakukan komparasi data, tunjangan yang diterima para direksi dan komisaris di BUMN jauh berkali-kali lipat melebihi tunjangan para wakil rakyat.
"Anehnya, rakyat lebih memilih melampiaskan kemarahannya (demo) kepada DPR ketimbang BUMN. Saya tidak sedang membela satu lembaga dan mendiskreditkan lembaga lainnya."
"Saya tegaskan ini sebagai upaya saya selaku pemerhati sosial yang cukup antusias melihat fenomena ini," timpalnya.
Pun, Fernando mengibaratkan bahwa fenomena kemarahan rakyat pada DPR gegara tunjangan rumah dinas seperti isi buku yang ditulis William Golding, peraih hadiah Nobel bidang sastra berjudul Lord of the Flies.
"Dalam buku itu, singkat cerita sekawanan anak-anak yang terdampar di hutan (pulau) diliputi frustrasi untuk mencari pertolongan. Saking frustrasinya salah satu anak dalam narasi buku bergenre sastra tersebut membakar seluruh pulau," katanya.
"Api pun berkobar menghanguskan pulau itu. Soal maknanya seperti apa, silahkan publik membaca bukunya dan tafsirkan sendiri-sendiri," imbuh Fernando.
Sumber: MonitorIndonesia
Artikel Terkait
Listyo Sigit Naikkan Komjen Polri, Pengamat: Strategi Selamatkan Diri dan Keluarga Jokowi?
Kejaksaan Diduga Tak Serius Eksekusi Silvester Matutina, DE JURE: Saling Lempar Tanggung Jawab Antara Institusi
Prabowo Gelar Rapat Tengah Malam, Mensesneg Beberkan Hasil yang Mengecewakan
Prabowo Terbang ke Mesir Malam Ini, Hadiri KTT Darurat untuk Perdamaian Gaza