Jokowi dan Prabowo: Pelaku Kekuasaan Dalam Cengkeraman Korupsi Absolut

- Selasa, 22 Juli 2025 | 18:25 WIB
Jokowi dan Prabowo: Pelaku Kekuasaan Dalam Cengkeraman Korupsi Absolut


Jokowi dan Prabowo: 'Pelaku Kekuasaan Dalam Cengkeraman Korupsi Absolut'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam pentas republik yang sedang kehilangan martabatnya, dua nama besar berdiri sebagai aktor utama: Joko Widodo dan Prabowo Subianto


Yang satu adalah presiden dua periode yang tak juga puas melepas panggung, dan yang satu lagi adalah prajurit tua yang akhirnya berada di singgasana setelah berkali-kali tersingkir. 


Dalam drama ini, kita tidak sedang menyaksikan regenerasi kekuasaan, melainkan konservasi kekuasaan


Bukan pergantian kepemimpinan, tapi pewarisan kendali. Ini bukan politik demokrasi, ini nepotisme dalam kostum prosedural.


Jokowi, alih-alih mundur dengan terhormat, justru cawe-cawe


Sebuah istilah Jawa yang terdengar lembut namun maknanya brutal: ikut campur. 


Dalam bahasa politik, cawe-cawe adalah upaya halus tapi manipulatif untuk tetap memegang kendali tanpa terlihat memerintah. 


Ia tak sekadar memberi restu, tapi juga mengarahkan, menyusun, bahkan mengatur jalan siapa yang boleh menang dan siapa yang tak boleh maju.


Ia menyiapkan segalanya: dari aturan hingga figur. 


Ia membajak Mahkamah, melahirkan putra sebagai wakil, dan mendorong Prabowo sebagai penerus—bukan karena yang bersangkutan cemerlang, tetapi karena mudah dikendalikan. 


Jokowi tidak mencari pemimpin untuk rakyat, tetapi pelanjut untuk kepentingannya sendiri.


Dan Prabowo? Ia bukan hanya bersedia dipoles, tapi juga rela dirias habis-habisan dengan simbol Jokowi. 


Dari narasi hingga tim sukses, semua dijejali aroma istana. 


Ia tidak menolak, tidak juga menunjukkan keinginan untuk lepas dari bayang-bayang Jokowi. 


Padahal, seorang pemimpin seharusnya tumbuh dari akar keyakinannya sendiri, bukan dari benih yang ditanamkan oleh pendahulunya.


Prabowo, dalam banyak kesempatan, terlihat menikmati posisinya sebagai “penerus” Jokowi, bukan sebagai tokoh perubahan. 


Ia tak menggugat ketimpangan yang ada, tak melawan arus kekuasaan yang manipulatif. 


Ia justru mengokohkan konstruksi kekuasaan Jokowi sebagai rumah barunya. 


Prabowo tidak sedang maju membawa gagasan; ia hanya sedang menikmati duduk di kursi yang sudah dipersiapkan, bahkan dengan wajah wakil presiden yang bukan pilihannya sendiri.


Apa yang dilakukan keduanya, dalam bahasa yang lebih telanjang, adalah bentuk korupsi kekuasaan yang paling absolut. 


Tidak harus mencuri uang negara untuk disebut korup, cukup mencuri kehendak rakyat, menelikung konstitusi secara halus, dan menjadikan pemilu sebagai formalitas prosedural belaka.


Jokowi tidak sedang menikmati hari tuanaya, setelah bertugas tugas sebagai presiden, ia sedang mengamankan kelanjutan kekuasaannya melalui tubuh orang lain. 


Prabowo bukan kandidat independen, ia hanyalah kendaraan baru yang dikemudikan oleh sopir lama.


Rakyat? Lagi-lagi hanya dijadikan penonton, atau lebih buruk: korban. 


Korban janji, korban narasi, korban tipu daya yang dikemas dengan retorika pembangunan dan stabilitas.


Inilah saatnya kita bicara jujur: Demokrasi kita sedang sakit, dan dua tokoh yang katanya berseberangan dulu, kini justru bersekutu dalam satu kepentingan: mempertahankan kekuasaan, dengan segala cara.


Saya bisa saja atau mungkin akan mengatakan, “Bangsa ini tidak kekurangan calon pemimpin, tapi kekurangan keberanian untuk memutus lingkaran penguasa yang merasa dirinya abadi.” 


Dan selama kita masih menganggap cawe-cawe itu sah, dan ketundukan Prabowo itu wajar, maka kita sedang membangun republik di atas lempengan ilusi—di mana yang kuat terus berkuasa dan yang lemah hanya dijadikan alat.


Dan akhirnya, dua tokoh ini bukan sedang berkompetisi. Mereka sedang berkolaborasi. 


Dalam korupsi kekuasaan yang lebih halus, lebih licin, dan lebih berbahaya dari yang pernah kita saksikan sebelumnya. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar