Wapres Gibran Pilih Dilengserkan atau Mundur Sendiri?

- Selasa, 10 Juni 2025 | 01:00 WIB
Wapres Gibran Pilih Dilengserkan atau Mundur Sendiri?


'Wapres Gibran Pilih Dilengserkan atau Mundur Sendiri?'


Oleh: Muh. Zulhamdi Suhafid

Presiden Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Periode 2025-2026


Hiruk pikuk perpolitikan Indonesia kembali bergejolak setelah berbagai kontroversi yang melibatkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam beberapa bulan terakhir.


Kiprah putra sulung mantan Presiden Joko Widodo ini sebagai orang nomor dua di republik memang tak pernah sepi dari sorotan publik sejak dilantik pada 20 oktober 2024 lalu.


Berbagai kebijakan dan pernyataannya kerap menuai kritik dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, akademisi, mahasiswa hingga masyarakat luas.


Pertanyaannya kini, apakah Gibran akan memilih mundur secara terhormat atau tetap bertahan hingga akhirnya terpaksa dilengserkan?


Perjalanan Gibran menuju kursi wakil presiden memang diwarnai kontroversi sejak awal.


Keputusan Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin oleh pamannya, Anwar Usman, terkait usia minimal calon presiden dan wakil presiden menjadi titik awal polemik.


Meski begitu, kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dalam pilpres 2024 sempat memupus keraguan sebagian masyarakat dan memberi legitimasi politik yang kuat bagi keduanya untuk memimpin bangsa.


Namun, enam bulan pasca pelantikan, hubungan keduanya mulai menunjukkan adanya keretakan yang sulit disembunyikan dari mata publik.


Ketidakharmonisan relasi Presiden Prabowo dengan Wakil Presiden Gibran semakin terlihat jelas dari perbedaan sikap keduanya dalam merespon berbagai isu strategis nasional.


Dalam beberapa kesempatan, Gibran terlihat mengambil langkah mengadakan ruang pengaduan aspirasi (Lapor Mas Wapres) pada saat bapak Prabowo melakukan perjalanan dinas ke luar negeri. 


Hal ini tentu menimbulkan kebingungan publik dan memunculkan pertanyaan tentang soliditas kepemimpinan nasional.


Situasi semakin memanas ketika lingkaran dekat Presiden mulai secara terbuka mengkritik berbagai tindakan dan pernyataan Wakil Presiden.


Partai-partai politik pendukung pemerintah pun mulai memberi sinyal tentang kemungkinan impeachment melalui jalur konstitusional di MPR RI.


Terbukti bahwa Forum Purnawirawan TNI menyampaikan  pernyataan sikap yang berisi 8 tuntutan yanni salah satunya adalah penggantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka karena keputusan MK yang dinilai melanggar hukum dan etika peradilan.


Perlu diketahui bahwa Konstitusi Indonesia memang tidak mengenal mekanisme impeachment yang secara spesifik ditujukan hanya kepada Wakil Presiden.


Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


Namun, proses ini membutuhkan tahapan panjang yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, hingga akhirnya keputusan MPR.


Di tengah tekanan politik yang semakin intens, opsi mundur sukarela mungkin menjadi pilihan yang lebih elegan bagi Gibran.


Dengan mengundurkan diri, ia setidaknya masih memiliki kesempatan untuk mempertahankan sebagian martabat politiknya dan mungkin bisa membangun kembali karier politiknya di masa depan setelah badai ini berlalu.


Sejarah mencatat, Mohammad Hatta memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956 karena perbedaan pendapat dengan Presiden Soekarno.


Keputusan tersebut justru menempatkan Hatta dalam posisi terhormat dalam sejarah politik Indonesia.


Namun, mengetahui latar belakang dan karakter Gibran yang dikenal teguh pendirian dan cenderung tidak mudah menyerah, kemungkinan ia memilih bertahan juga cukup besar.


Jika ini yang terjadi, maka proses konstitusional pemberhentian Wakil Presiden melalui impeachment menjadi skenario yang mungkin terjadi dalam beberapa bulan ke depan.


Tentu saja, proses ini akan menyedot energi politik yang luar biasa dan berpotensi menciptakan instabilitas politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia.


Yang menarik untuk dicermati adalah posisi Presiden Prabowo dalam pusaran konflik ini.


Sebagai pemimpin tertinggi eksekutif, sikap dan keputusan Prabowo akan sangat menentukan nasib politik Gibran.


Beberapa pengamat menilai bahwa Prabowo cenderung membiarkan Gibran "terjebak" dalam berbagai kontroversi tanpa memberikan dukungan berarti.


Ini bisa diinterpretasikan sebagai sinyal bahwa Prabowo mungkin tidak keberatan jika Gibran harus meninggalkan jabatannya, entah melalui pengunduran diri atau pemberhentian konstitusional.


Di sisi lain, kubu pendukung Gibran terus berupaya membangun narasi tentang adanya upaya sistematis untuk menjatuhkan Wakil Presiden.


Mereka menilai berbagai isu yang menimpa Gibran merupakan bagian dari permainan politik tingkat tinggi yang bertujuan untuk menyingkirkannya dan mengamankan kepentingan kelompok tertentu.


Narasi semacam ini tentu saja memperoleh dukungan dari para loyalis Gibran, meski belum cukup kuat untuk mengubah opini publik secara luas.


Bagaimanapun, situasi ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang tidak menguntungkan.


Konflik terbuka di jajaran tertinggi kepemimpinan nasional berpotensi mengganggu kinerja pemerintahan dan menghambat penyelesaian berbagai permasalahan mendesak yang dihadapi bangsa.


Terlebih, Indonesia sedang menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan akibat dampak percaturan politik global dan berbagai permasalahan struktural dalam negeri.


Dalam konteks ini, menarik untuk menyimak bagaimana reaksi masyarakat terhadap drama politik ini.


Berdasarkan berbagai survei terkini, mayoritas publik cenderung menginginkan penyelesaian cepat atas polemik ini, entah melalui pengunduran diri Gibran atau proses konstitusional yang transparan.


Yang jelas, kepentingan bangsa dan negara seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam setiap keputusan politik yang diambil.


Terlepas dari pilihan yang akan diambil oleh Gibran dan dinamika politik yang akan terjadi, episode ini menjadi pembelajaran berharga bagi demokrasi Indonesia.


Ia mengingatkan kita bahwa legitimasi politik tidak hanya ditentukan oleh kemenangan dalam pemilihan umum, tetapi juga oleh integritas, kompetensi, dan kemampuan untuk menjalankan amanah rakyat dengan baik.


Publik pun semakin dewasa dalam menilai dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpinnya.


Bagi Gibran sendiri, ini mungkin menjadi titik kritis dalam perjalanan kariernya yang masih panjang.


Keputusan yang ia ambil dalam beberapa minggu ke depan akan sangat menentukan tidak hanya masa depan politiknya, tetapi juga warisan sejarah yang akan dikenang oleh generasi mendatang.


Mundur dengan terhormat atau dilengserkan dengan penuh kontroversi – pilihan ada di tangannya. ***

Komentar