Petruk Jadi Raja: Drama Perampasan Demokrasi di Era Jokowi

- Rabu, 28 Mei 2025 | 13:45 WIB
Petruk Jadi Raja: Drama Perampasan Demokrasi di Era Jokowi


Petruk Jadi Raja: 'Drama Perampasan Demokrasi di Era Jokowi'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ketika Joko Widodo naik ke panggung kekuasaan, publik seolah menyaksikan babak baru dalam kisah demokrasi Indonesia. 


Dari Solo, kota yang bersahaja, muncullah figur lugu yang dianggap sebagai antitesis dari rezim lama. 


Tak punya darah biru politik, tak berakar pada dinasti militer, Jokowi tampil bak Petruk — tokoh punakawan dalam lakon pewayangan — yang tiba-tiba naik tahta, menjadi raja. 


Harapan meletup: inilah momentum ketika rakyat biasa mengambil alih palu kekuasaan.


Narasi itu menyihir publik dengan dahsyat. Jokowi dipuja bukan karena kekuatannya, tapi justru karena kelemahannya yang dianggap manusiawi: cara bicaranya yang terbata, tubuhnya yang kurus, dan gestur yang tak dibuat-buat. 


Ia menjanjikan gaya kepemimpinan baru: merakyat, bersih, dan sederhana. Ia membawa angin harapan, terutama bagi mereka yang lelah dengan elitisme politik yang itu-itu saja.


Namun waktu, seperti biasa, membongkar segalanya. Harapan tinggal kenangan. 


Citra kerakyatan yang dulu dielu-elukan perlahan berubah menjadi wajah dingin kekuasaan yang tak mengenal malu. 


Jokowi, yang dulu dielu-elukan sebagai koreksi atas sistem yang bobrok, justru menjadi produk paling sempurna dari kebusukan itu. 


Ia tidak hanya membiarkan sistem rusak berlanjut — ia justru menjadi arsitek kebusukan jilid baru.


Reformasi, yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, dikubur secara perlahan namun pasti dari dalam Istana. 


Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan lewat undang-undang pesanan. 


Pemilu tak lagi ajang pesta rakyat, melainkan arena penuh manipulasi dan intervensi. Politik berubah menjadi milik segelintir orang, disulap menjadi properti keluarga dan kroni. 


Demokrasi yang dulu berdiri tegak sebagai harapan, kini dipreteli demi stabilitas semu yang lebih mirip komando.


Dan yang lebih menyakitkan, Jokowi tidak sekadar berdiam. Ia bukan korban dari sistem. Ia adalah dalang yang dengan sadar memainkan lakon ini. 


Ia membiarkan hukum dijungkirbalikkan demi menjaga kursi kekuasaan. Ia membelokkan konstitusi demi mempercepat kenaikan putranya ke singgasana. 


Ia menghancurkan meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar republik ini berdiri. Ia memadamkan nyala reformasi dengan tangannya sendiri.


Yang terjadi hari ini bukanlah pengkhianatan kecil. Ini adalah pembelokan sejarah. 


Jokowi menjadikan demokrasi sebagai panggung keluarga — bukan untuk memperbaiki bangsa, tapi untuk memperpanjang napas politik klan dan kelompoknya. 


Putranya, yang bahkan belum rampung belajar memahami seluk-beluk negara, didorong ke kursi wakil presiden lewat jalan pintas yang menghina akal sehat. 


Menantunya, tanpa rekam jejak mumpuni, didorong menjadi kepala daerah dalam skema yang lebih mirip perjodohan kekuasaan daripada seleksi publik yang fair.


Jokowi telah menjungkirbalikkan janji yang dulu membawanya ke tampuk kuasa. Ia telah membungkus ambisi pribadi dengan retorika rakyat. 


Dan dalam proses itu, ia mencuri bukan hanya suara pemilih, tapi juga mimpi kolektif tentang Indonesia yang lebih adil dan demokratis.


Petruk memang pernah jadi raja. Tapi dalam lakon aslinya, jabatan itu hanya ilusi. Ia tahu diri dan akhirnya turun. 


Sayangnya, Jokowi tampaknya lebih memilih menjadikan lakon itu kenyataan permanen — dengan satu perbedaan: Petruk punya kesadaran, Jokowi punya kekuasaan. 


Dan ketika kekuasaan tak lagi mengenal malu, rakyat hanya bisa bertanya-tanya: siapa yang sebenarnya sedang kita pilih? 


Pemimpin rakyat atau raja dalam bayang-bayang keluarga?


Demokrasi Indonesia kini berdiri di ujung tanduk. Dan sejarah akan mencatat: lakon Petruk jadi raja, di tangan Jokowi, berubah menjadi tragedi. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar