Bubarkan Ormas Yang Bersorban, Pelihara Ormas Yang Bertato!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pada penghujung 2020, publik dikejutkan oleh satu pengumuman pemerintah: Front Pembela Islam (FPI) resmi dibubarkan.
Tak lama sebelumnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengalami nasib serupa.
Kedua organisasi ini, yang berbasis massa dan bernafaskan ideologi Islam, dipaksa hengkang dari lanskap sosial-politik Indonesia — bukan lewat pengadilan, tapi lewat keputusan sepihak pemerintah.
Langkah ini seakan menjadi babak baru dalam pendekatan negara terhadap organisasi masyarakat: tanpa proses hukum, tanpa pembuktian di ruang sidang, tanpa hak jawab yang adil.
Pemerintahan Joko Widodo seolah menyulap tafsir hukum menjadi alat politik, menundukkan kelompok yang dianggap “mengganggu stabilitas”, padahal belum tentu melanggar hukum.
Ironisnya, ormas-ormas lain yang aktivitasnya kerap diwarnai kekerasan, pemalakan, bahkan premanisme terbuka, tetap dibiarkan hidup dan berkeliaran tanpa sanksi berarti.
HTI dan FPI: Dua Wajah dalam Bingkai Stigma
HTI dibubarkan dengan dalih ingin mengganti ideologi negara, meskipun selama bertahun-tahun tak terbukti melakukan aksi kekerasan.
Narasi yang dibangun adalah ancaman terhadap Pancasila — meski tak pernah ada sidang yang membuktikan bahwa HTI secara nyata menumbangkan ideologi negara dengan cara subversif.
ementara FPI, yang memang punya rekam jejak kekerasan dalam sejumlah aksi, dibubarkan bukan karena aksi-aksinya, tapi karena status hukum organisasinya dinyatakan tidak sah, disusul pembubaran sepihak oleh negara lewat SKB enam menteri.
Namun di balik itu semua, ada benang merah yang sulit dipungkiri: kedua organisasi ini memiliki simbol dan semangat keagamaan yang kuat.
Mereka lantang menyuarakan isu-isu Islam politik, menyoroti ketimpangan sosial dari perspektif agama, dan sering menjadi oposisi keras terhadap kebijakan pemerintah.
Dalam atmosfer politik yang sensitif, ekspresi Islam politik rupanya lebih menakutkan bagi negara daripada kekerasan jalanan yang kasatmata.
Sentimen Keagamaan yang Terselubung
Tindakan pembubaran ini lebih mencerminkan kegamangan negara menghadapi Islam politik dibanding kekhawatiran terhadap ancaman riil.
Kita melihat standar ganda yang mencolok: kelompok berbasis agama dibubarkan dengan dalih keamanan, sementara kelompok berbasis kekuasaan atau kepentingan oligarki justru dipelihara.
Apakah ini karena HTI dan FPI merepresentasikan suara Islam yang kritis dan non-kooperatif terhadap kekuasaan?
Apakah ini semata soal ideologi, atau sebenarnya karena mereka tidak tunduk pada patronase politik?
Jika benar demikian, maka tindakan pembubaran itu tak lebih dari manifestasi ketakutan negara terhadap oposisi yang punya basis ideologis — terutama bila itu datang dari Islam.
Negara dan Otoritarianisme Terselubung
Dalam sistem demokrasi, pembubaran organisasi seharusnya hanya bisa dilakukan melalui mekanisme hukum yang adil dan transparan.
Tanpa pengadilan, negara bukanlah penegak hukum, melainkan hakim yang sewenang-wenang.
Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip due process of law — asas yang menjadi fondasi negara hukum modern.
Ketika negara membubarkan ormas karena perbedaan pandangan politik dan ideologi keagamaan tanpa memberi ruang pembelaan, maka yang hadir adalah wajah otoritarianisme terselubung.
Demokrasi hanya tinggal slogan, sementara praktiknya menunjukkan sebaliknya: pengendalian, penghapusan, dan pembungkaman terhadap yang berbeda.
Penutup: Ancaman Bukan dari Ormas, Tapi dari Kuasa Tanpa Batas
Hari ini kita menyaksikan pembubaran ormas berbasis agama tanpa proses pengadilan.
Besok, mungkin giliran organisasi lain yang berbeda pandangan dengan pemerintah.
Kalau negara bisa begitu mudah membubarkan ormas karena alasan politis dan sentimen ideologis, maka tak ada jaminan bahwa kelompok lain — pers, LSM, bahkan partai politik — akan selamat dari perlakuan serupa.
Sejatinya, ancaman bagi republik ini bukan datang dari HTI atau FPI.
Ancaman itu datang ketika negara merasa tak perlu lagi taat pada hukum dan prosedur, ketika rasa takut terhadap simbol agama lebih besar daripada komitmen pada konstitusi.
Dan ketika itu terjadi, kita semua — apapun keyakinan dan afiliasi kita — sedang menuju jurang negara otoriter yang dibungkus dalam nama demokrasi. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Roy Suryo Ancam Laporkan Penyidik Bareskrim, Jokowi: UGM, KPU, Bareskrim Nggak Dipercaya?
Habib Rizieq Kembali Jadi Ayah di Usia 59 Tahun, Umumkan Kelahiran Bayi Laki-laki dari Istri Muda
Dari Mega hingga Eks Rektor UGM Ragu Ijazah Jokowi, Beathor: Jokowi Menanti Bui
Diaz Hendropriyono Ditunjuk Jadi Komisaris Utama Telkomsel