ANALISIS! Membaca Ijazah, Legitimasi, dan Imajinasi Kekuasaan: Apa Maksud Bareskrim Dengan Identik dan Otentik?

- Kamis, 22 Mei 2025 | 22:35 WIB
ANALISIS! Membaca Ijazah, Legitimasi, dan Imajinasi Kekuasaan: Apa Maksud Bareskrim Dengan Identik dan Otentik?


Membaca Ijazah, Legitimasi, dan Imajinasi Kekuasaan: Apa Maksud Bareskrim Dengan Identik dan Otentik?


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Pernyataan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bahwa ijazah Presiden Joko Widodo adalah “identik dan otentik” barangkali dimaksudkan untuk menyudahi kontroversi panjang. 


Tapi seperti kabut pagi yang sejenak sirna lalu kembali menebal, kesimpulan itu justru menyisakan lebih banyak tanya ketimbang menjawab seluruh curiga.


Di ruang publik, kata “identik” dan “otentik” tidak hanya menyiratkan kepastian forensik, melainkan juga mengandung muatan legitimasi politik. 


Identik berarti tak ada beda antara ijazah yang dipegang Jokowi dengan dokumen arsip institusi pendidikan yang mengeluarkannya. 


Otentik menandakan bahwa dokumen itu benar, asli, bukan hasil manipulasi atau rekayasa. 


Dalam bahasa hukum, keduanya mengunci status sah ijazah itu sebagai alat bukti yang tak terbantahkan.


Namun, publik tak hanya menagih keaslian kertas dan tanda tangan. Yang lebih mendasar adalah kejujuran di baliknya. 


Apakah negara telah berlaku transparan dalam membuktikan sesuatu yang sedari awal seharusnya bukan perkara besar? 


Mengapa untuk membuktikan sesuatu yang amat sederhana—bahwa seorang Presiden benar-benar lulus dari institusi pendidikan tertentu—dibutuhkan proses yang panjang, penuh pengelakan, bahkan perlawanan hukum terhadap para penggugat?


Kisruh soal ijazah Jokowi sejatinya bukan soal akademik, melainkan soal kepercayaan. 


Negara—melalui aparatnya—berulang kali gagal merespons keraguan masyarakat dengan cara yang wajar dan terbuka. 


Alih-alih membuka dokumen ke publik, aparat justru terkesan menutupi, menuding balik, bahkan memperkarakan mereka yang mempertanyakan. 


Ketika logika kekuasaan menutupi logika kebenaran, setiap pembelaan pun tampak seperti drama, bukan klarifikasi.


Bareskrim boleh saja berkata ijazah itu identik dan otentik. Tapi publik juga punya hak untuk menilai apakah proses verifikasi itu jujur dan tak berpihak. 


Apakah saksi-saksi dihadirkan dari semua pihak, bukan hanya yang mendukung versi resmi? 


Apakah pengujian dilakukan oleh lembaga independen, bukan oleh institusi yang berada di bawah kendali kekuasaan?


Dalam republik yang sehat, ijazah presiden mestinya bukan menjadi isu. 


Tapi di negeri ini, ketika akuntabilitas menjadi barang langka, selembar ijazah pun bisa menjadi simbol dari seluruh problem tata kelola negara: ketertutupan, manipulasi informasi, dan penggunaan aparatur hukum untuk melayani kepentingan elite.


Maka, yang dipersoalkan bukan semata otentisitas kertas, melainkan otentisitas moral kekuasaan itu sendiri. 


Apakah negara hadir untuk menjawab keraguan rakyat, atau justru menjadi tembok tebal yang melindungi para penguasa dari kritik dan pertanggungjawaban?


Dalam dunia yang terus bergerak menuju keterbukaan, cara-cara lama mempertahankan rahasia hanya akan mempercepat kejatuhan wibawa. 


Sebab kebenaran, sebagaimana sejarah, tak bisa dibungkam hanya dengan cap resmi yang berbunyi: “Identik dan Otentik”. ***


Komentar