KPK tak Bisa Tangkap Direksi dan Komisaris BUMN, Muslim Arbi: Garong Uang Negara Makin Merajalela

- Senin, 05 Mei 2025 | 21:05 WIB
KPK tak Bisa Tangkap Direksi dan Komisaris BUMN, Muslim Arbi: Garong Uang Negara Makin Merajalela


Polemik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) terus bergulir di ruang publik. Salah satu pasal krusial yang memicu kontroversi adalah penghapusan status penyelenggara negara bagi direksi dan komisaris BUMN, yang berimplikasi langsung pada hilangnya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangkap mereka dalam kasus dugaan korupsi.

Pengamat politik Muslim Arbi secara keras menyoroti konsekuensi dari pemberlakuan UU tersebut. Ia menilai, aturan ini membuka celah besar bagi para “garong uang negara” untuk semakin leluasa menjarah keuangan negara melalui perusahaan-perusahaan plat merah tanpa takut dijerat KPK.

“Dengan UU ini, para garong uang negara makin merajalela. KPK tidak bisa menyentuh direksi dan komisaris BUMN lagi. Ini sangat berbahaya,” kata Muslim Arbi kepada www.suaranasional.com, Senin (5/5/2025).

Menurut Muslim, perubahan status hukum tersebut justru bisa menjadikan BUMN sebagai ladang pembiayaan politik bagi elite-elite tertentu. Ia menyoroti betapa BUMN selama ini kerap menjadi “sapi perah” untuk kepentingan non-bisnis.

“UU BUMN ini menjadi peluang bagi oknum untuk menjadikan perusahaan-perusahaan pelat merah sebagai sumber dana politik. Biaya politik kita mahal, dan celah ini bisa dimanfaatkan untuk membiayai kepentingan kekuasaan,” ujarnya.

Sebelum UU ini diberlakukan, KPK memiliki kewenangan penuh dalam memeriksa dan menindak direksi maupun komisaris BUMN karena mereka dianggap sebagai penyelenggara negara. Namun sejak 24 Februari 2025, status tersebut telah dicabut secara hukum. Akibatnya, BUMN kini berada di luar jangkauan KPK dalam konteks penindakan.

Langkah ini menuai kekhawatiran serius dari berbagai kalangan, terutama para pegiat antikorupsi. Mereka menilai, penghapusan status tersebut justru memperlemah pengawasan dan menciptakan kekebalan hukum terselubung bagi elite korporasi BUMN.

Muslim Arbi juga menilai bahwa pemberlakuan UU ini merupakan kemunduran besar dalam tata kelola negara. Ia mempertanyakan, untuk siapa sebenarnya aturan ini dibuat.

“Harusnya pemerintah memperkuat lembaga-lembaga antikorupsi, bukan justru membentengi pihak-pihak yang punya akses keuangan besar agar kebal hukum. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi,” tegasnya.

Tak hanya soal pengawasan hukum, UU BUMN juga disorot karena dinilai membuka jalan bagi politisasi jabatan di tubuh BUMN. Dengan semakin longgarnya pengawasan, potensi terjadinya pengangkatan direksi dan komisaris berdasarkan kedekatan politik menjadi semakin besar.

“Jangan-jangan, ke depan direksi dan komisaris BUMN diisi oleh para tim sukses atau relawan politik. Kalau ini terjadi, rakyat yang akan menanggung akibatnya,” ujar Muslim.

Sejumlah akademisi dan pakar hukum tata negara kini mulai mendorong adanya judicial review terhadap pasal-pasal dalam UU BUMN yang dinilai berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi. Muslim Arbi pun mendukung langkah ini sebagai bentuk perlawanan konstitusional atas pelemahan KPK.

“Ini bukan hanya soal KPK. Ini soal masa depan BUMN dan keuangan negara. Kalau dibiarkan, maka kita sedang menyuburkan ladang korupsi dalam sistem yang dilegalkan,” pungkas Muslim Arbi.

Foto: Muslim Arbi (IST)

Komentar