Angka ini merupakan enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan periode enam bulan sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sejak Meta mulai melaporkan pembatasan konten di Malaysia pada 2017.
Otoritas komunikasi Malaysia menyatakan dalam pernyataan resmi mereka bahwa pembatasan konten di media sosial bertujuan untuk melindungi masyarakat dari peningkatan kejahatan online yang signifikan, bukan untuk menghambat pandangan yang berbeda.
Laporan Meta menunjukkan bahwa konten yang diminta untuk diblokir di Malaysia berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah, judi ilegal, ujaran kebencian, ras dan agama, penipuan keuangan, serta tindak perundungan.
Selain Meta, TikTok juga mengungkapkan pembatasan konten dari pemerintah Malaysia.
Dalam laporan yang dirilis bulan lalu, TikTok menyebut ada 340 permintaan blokir konten selama Januari-Juni 2023 yang berdampak pada 890 postingan dan akun TikTok.
Malaysia merupakan negara yang paling banyak meminta pembatasan konten dari TikTok di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya, menurut laporan dari platform media sosial asal China tersebut.
Menteri Komunikasi Malaysia, Fahmi Fadzil, menegaskan bahwa tindakan pemerintah biasanya dipicu oleh keluhan langsung dari masyarakat. Ia menolak tuduhan bahwa pemerintah memblokir konten yang mengkritik pemerintah di media sosial.
Pada Oktober lalu, Fahmi menyatakan bahwa TikTok belum cukup efektif dalam menanggulangi konten negatif di platformnya dan tidak mematuhi aturan yang berlaku di Malaysia. TikTok berkomitmen untuk lebih aktif dalam mematuhi regulasi setempat setelah pertemuan dengan pemerintah.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: unews.id
Artikel Terkait
Waspada Hujan Lebat hingga Ekstrem 1-7 November 2025: BMKG Imbau Siaga Banten, Jakarta, Jawa Barat, dkk.
Revitalisasi Seni & Budaya Betawi: MNC University Gelar Program di Karet Kuningan
OJK Ingatkan Bank Jaga Tata Kelola & Risiko Meski Kejar Target Kredit
3 Tempat Nongkrong di Ngawi yang Cozy & Kekinian 2024, Wajib Coba!