Sedemikian banyak cerita tentang kekejiannya membuat orang wajar keberatan bila Presiden Jokowi pada 17 Agustus lalu dimaksudkan mengenakan busana Amangkurat I. Bila demikian adanya, jelas Istana harus mencari tahu siapa yang memprakarsai, atau punya ide seperti itu. Untuk dihukum? Mungkin terlalu keras untuk zaman ini. Tapi setidaknya orang itu harus dipaksa belajar lagi sejarah, adat istiadat, dan aneka rupa agar bisa lebih “bener” dalam menjalankan tugas
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Upacara Peringatan HUT ke-78 RI di Istana Negara, 17 Agustus lalu, tampaknya membawa buntut persoalan. Bisa dianggap sepele, meski bila dikaitkan dengan keharusan ketatnya protokoler dan prosedur standar operasional (SOP) Istana, sejatinya tidak pula remeh. Bagaimanapun, seharusnya hanya yang terbaik, yang terencana, terprogram, terseleksi dengan ketatlah yang menjadi ‘produk’ Istana, baik itu kebijakan, pernyataan, bahkan penampilan Kepala Negara.
‘Buntut’ itu adalah wacana yang marak di media sosial (viral) tentang busana yang dikenakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pada 17 Agustus itu. Sementara Ibu Negara, Iriana Jokowi memakai busana adat Bali, Jokowi sendiri ‘dipilihkan’ untuk mengenakan pakaian kebesaran raja-raja Mataram (Islam). Belakangan, entah bagaimana prosesnya, di media sosial, terutama–yang penulis lihat–di Twitter, disebutkan bahwa Presiden mengenakan pakaian ala Sultan Mataram pasca—era Sultan Agung Hanyokrokusumo, yakni anaknya, Amangkurat I.
Tidak sepenuhnya salah, memang. Pasalnya, berdasarkan ilustrasi-ilustrasi yang beredar selama ini, busana yang dikenakan Presiden saat apel 17 Agustus itu, lebih dekat persamaannya dengan pakaian yang dipakai Amangkurat I, daripada ilustrasi Sultan Agung umumnya.
Dari situlah kemudian muncul semacam “keberatan”, yang saya pikir tak hanya wajar, melainkan pula datang dari rasa cinta warga negara terhadap pemimpinnya. Pasalnya, Anda dengan gampang tahu siapa Amangkurat I ini, hanya lewat satu dua klik Google, duckduckgo, ataupun Bing.
Rasanya, nyaris tak akan ada sejarawan nasional yang mendapatkan kesan baik dari pribadi Amangkurat I. Dianugerahi gelar “wah!” sebagai “Amangku” (pemangku) “rat” (bumi) sebagaimana “Pakubuwono” atau “Hamengku Buwono” (memangku jagat), sikap, moral dan perangai Raden Mas Sayyidin yang disebutkan lahir antara 1618-1619 itu jauh dari terpuji.
Saat masih menjadi putra mahkota, ia berselingkuh—terma yang tampaknya tak akan sesuai dengan alam feodal, lebih mungkin ia memaksa—dengan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Itu terjadi sekitar delapan tahun sebelum penobatannya, 1637. Adiknya, Pangeran Alit, yang berteman akrab dengan seniornya itu, membela Wiraguna dalam kasus tersebut.
Pada 1645, setelah kematian Sultan Agung, Sayyidin dinobatkan sebagai Sultan Mataram, dengan gelar tadi, Amangkurat I. Hanya dua tahun kemudian, dengan alasan tugas menumpas kerajaan Blambangan, Sultan meminta Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya memimpin ekspedisi pasukan ke wilayah yang saat ini dikenal sebagai area Tapal Kuda. Di sana, Wiraguna dan Danupaya justru dibunuh. Tidak cukup dengan itu, Amangkurat I kemudian memerintahkan seluruh keluarga Wiraguna dan pihak-pihak yang berhadapan dengan dirinya dalam skandal 10 tahun sebelumnya itu dibunuh.
Pangeran Alit yang melihat seniornya dibunuh, memberontak dengan menyerang keraton Plered. Namun serangan itu telah bocor sebelumnya. Pasukannya dijebak, dibunuh, dan kepala-kepala para pimpinan pasukan Pangeran Alit itu dibawa dengan nampan ke hadapan Amangkurat I.
Sang adik, Pangeran Alit, pantang mundur. Ia menyerang meski hanya dibantu enam lurah dengan anak buah tak seberapa. Alit kemudian tewas terluka kerisnya sendiri yang beracun.
Goenawan Mohammad dalam lakon dramanya, “Amangkurat Amangkurat”, menulis peristiwa itu dengan sedih. Sayang, bukunya hilang dari lemari saya. Konon, Amangkurat menunjukkan rasa sedihnya kepada publik atas kematian itu. “Aku akan membela adikku,” demikian ia dikutip dalam Babad Tanah Jawi. Ia pun melukai bahunya sendiri—yang menurut Goenawan dalam “Catatan Pinggir”—cara yang aneh untuk “membela” seseorang. Setelah prosesi perkabungan itu, Amangkurat berkata, ”Hatiku sudah lega.”
Goenawan melanjutkan, Amangkurat, seraya tampil dengan rambut plontos tercukur sebagai tanda belasungkawa, memerintahkan empat orang kepercayaannya menyiapkan sebuah pembunuhan besar-besaran. Ia yakin, para ulama di Mataram terlibat pemberontakan Pangeran Alit. Setelah nama, keluarga, alamat semua tokoh agama itu dicatat, dengan isyarat tembakan meriam dari istana, pembantaian pun dimulai. Hanya dalam tempo 30 menit, sekitar 5.000-6.000 ulama (termasuk para istri dan anak-anak) dihabisi.
Tak cukup menyaksikan darah mengalir, di hari yang sama “Sang Sultan” Amangkurat memerintahkan tujuh orang pembesar dibunuh bersama keluarga mereka. “…Betapa angkuh dan kejamnya orang-orang ini,”tulis Rijcklof van Goens, gubernur jenderal Hindia Belanda 1678-1681 yang mencatat peristiwa berdarah itu puluhan tahun kemudian.
Ia memang raja yang keji. Pada 1659, Amangkurat I memerintahkan agar mertuanya—alias bapak istrinya sendiri–Pangeran Pekik, beserta seluruh keluarganya, dibunuh. Pasalnya, sang mertua dianggap berani-beraninya mengambil Rara Oyi, gadis yang ditaksir Amangkurat untuk dijadikan selir, untuk dinikahkan sang mertua pada Raden Mas Rahmat, cucu Pekik dan anak Amangkurat I sendiri. Berfalsafah “kalau nggak buat gue nggak juga buat yang lain”, Rara Oyi kemudian diharuskan untuk dibunuh Raden Mas Rahmat, atas perintah Amangkurat.
Amangkurat I dipastikan seorang yang hidup dengan paranoia. Saat pamannya, Pangeran Surabaya, datang membawakannya hadiah seekor bekisar—ayam hutan-yang elok, hatinya malah timbul curiga. Ia yakin, pamannya itu menyindirnya, dan bermaksud berkomplot untuk menggulingkannya. Ketika isu kecurigaan itu tersebar, Pangeran Surabaya pun datang ke istana dengan ketakutan, meminta mati bila memang Raja mencurigai hadiahnya itu pasemon, alias ungkapan semu.
Artikel Terkait
Gubernur DKI Gak Bisa Tidur Gara-Gara Mimpiin Tiang Monorel Mangkrak 20 Tahun, Ini Rencana Pembersihannya
Zohran Mamdani Puncaki Polling Pilwalkot New York, Buktikan Serangan Rasial & Islamofobia Gagal Galang Dukungan
PSSI Ungkap Syarat Keras untuk Pelatih Baru Timnas Indonesia: Harus Lebih Hebat dari Shin Tae-yong!
Indra Sjafri Soroti Persiapan Timnas U-22 Jelang SEA Games 2025, Ini Strategi Kuncinya