Saya berusaha menyimak cerita soal stimulus ini. Tapi kisah tentang para petani ini terjeda sejenak. Seorang anak muda yang ikut meriung di pojok kedai itu, tiba-tiba datang menyapa. “Pak Rizal, mohon maaf, saya temannya….”, kata si anak muda itu sembari sedikit membungkuk. Saya lupa siapa nama teman si anak muda ini. Ingatan saya tersita oleh kesantuannya. Rizal antusias menjawab. Penuh akrab. Lalu si anak muda itu bercerita tentang teman-temannya, sembari menunjuk ke meja pojok itu. “Kami sedang meeting mau bikin usaha kecil sendiri Pak.” Rizal antusias memuji, “Wah luar biasa, kalian masih muda sudah punya rencana jauh ke depan.”
Si anak muda itu lalu minta foto berdua. Tentu dengan Rizal. Saya berinisiatif menjadi juru potret. Dua foto jadi. Satu ketika wajah keduanya sedikit serius. Satu lagi ketika wajah mereka sama-sama tertawa lepas. Puas dengan hasilnya, anak muda itu pamit. Kembali meriung bersama kawan-kawannya. “Generasi mereka lebih canggih dari kita,” kata Rizal sembari tertawa. Saya ikut tertawa, cuma sedikit kecut.
Lalu Rizal kembali menjelaskan soal stimulus tadi. Soekarno dan Hatta, kata Rizal, sudah jauh-jauh hari memberi wejangan kepada kita. Tentang kemandirian dan kerakyatan. Datang dari masa lalu, sesungguhnya itulah pintu masa depan bangsa kita. Kalau hari ini kita menghidupkan lagi dua suku kata ini, lanjut Rizal, itu bukan soal nasionalisme, bukan soal anti asing, tapi itulah jalan pulang kita, dari ketergantungan yang begitu jauh terhadap bangsa lain.
Oligarki
Saya sendiri sejatinya tidak begitu paham soal ekonomi. Minat saya adalah sosiologi. Hanya saja, Rizal sepertinya dianugerahi keajaiban menguraikan soal berbelit menjadi enak dicerna. Dari seluruh penjelasan dia tentang ekonomi, kita tidak hanya menangkap kekuatan logika dan angka yang bicara, tapi kita juga menangkap semangat keberpihakan yang begitu terang. Bahwa kebijakan haruslah sepenuhnya untuk kita. Orang banyak.
Dia lalu berpindah topik. Menjelaskan soal ekonomi gelas. Soal sosialisme terbalik. Ini terminologi asing bagi saya. Yang memungkinkan stuktur ekonomi terlihat seperti sebuah gelas. Sosialisme terbalik itu menjadi mungkin, oleh karena kalangan atas pelaku ekonomi berselingkuh dengan politik. Lalu berkemungkinan membeli kebijakan. Jadilah mereka yang di atas itu menguasai begitu banyak. Menguasai bagian terbesar dari kue ekonomi. Sementara lapisan menengah ke bawah, serta pelaku ekonomi rumah tangga, berebut porsi terkecil.
Di banyak negara ketiga, lanjutnya, orang-orang yang dilapis atas itu, dapat banyak tentu ada yang karena bekerja keras. Tapi banyak juga yang menambang lewat kekuasaan. Tadinya cuma berdagang, lalu bersekutu, dan menjelma menjadi kekuatan yang kemudian kita sebut oligarki. Persekutuan itu menjadi mudah, oleh karena sistem dan cara mengelola negara memberi jalan. Dari situlah mereka menentukan begitu banyak hal. Bisnis mereka kian berpinak, bukan lagi karena kerja keras dan hukum ekonomi belaka, tapi karena kebijakan yang lebih memihak.
Kekuatan uang itu, juga memungkinkan mereka lebih mudah masuk ke dalam kekuasaan. Tidak ada yang salah memang. Tetapi jika mereka tidak melepas hasrat berdagang, maka terjadilah apa yang oleh Rizal disebut sebagai Pengpeng. Pengusaha merangkap penguasa. Pada ruang kekuasaan, perselingkuhan keduanya tidak hanya memburamkan batas, antara bisnis dan kekuasaan, tapi juga berkemungkinan menyisihkan orang banyak pada aneka urusan.
Pada pola seperti itu, lanjutnya, jika dibiarkan, uang akan menjadi candu dalam banyak hal. Termasuk demokrasi. Uang dikalahkan oleh uang yang banyak. Uang yang banyak dikalahkah oleh uang yang lebih banyak lagi. Dan jika sudah begitu, hanya satu yang sanggup menekuk mereka semua yaitu: militansi. Setia berjuang demi kebaikan. Dan militansi itu, lanjutnya, haruslah menjadi mahkota pada segala tempat dan waktu. Termasuk dari dalam. Ketika kita duduk di kursi kekuasaan.
Dari uraian singkat ini akhirnya saya mengerti, mengapa ketika duduk di kursi menteri, Rizal menerabas sekian hal yang dianggap tabu oleh setiap penghuni kekuasaan. Dia, misalnya, begitu vulgar mengkritik proyek 35 ribu megawatt Perusahaan Listrik Negara (PLN). Yang disebutnya tidak realistis. Dan hanya akan membuat PLN terhuyung memikul beban hutang. Lalu lunglai. Dia juga begitu lantang mengkritik Garuda Indonesia. Soal rencana pembelian Airbus 350. Sama seperti 35 ribu megawatt. Rencana pembelian itu disebut tidak realistis.
Lalu beberapa orang marah. Banyak orang penting juga seperti kepanasan. Dan menyebut kritikan Rizal sebagai kegaduhan. Mungkin memang cara dia memilih kata bikin gaduh, tapi kita gagal melihat kebenaran yang ditinggalkan Rizal pada kegaduhan itu.
Padahal sungguhlah tak sulit untuk melihat. Tak perlu memakai tabel dan grafik juga. Oleh karena dia bicara begitu terang. Kita mungkin benci mati punya dengan pilihan kata, tapi kita gagal melihat kemungkinan bahwa, kebenaran menyukai Rizal.
Akhir dari cerita tentang 35 ribu megawatt dan Garuda kita sama-sama paham. Sekian tahun kemudian, dua perusahaan pelat merah itu, oleh media massa kita, diberitakan sama-sama nelongso. Nyaris bangkrut. Sebelum kemudian negara mengulurkan pertolongan. Dan sebelum kebenaran itu datang, entah apa persis alasannya, yang kita tahu adalah Rizal terlempar dari kursi menteri. Kisah Rizal di kabinet tutup buku sudah.
Tapi melempar Rizal dari kursi kekuasaan, itu seperti kita melempar botol ke laut, dia akan datang lagi bersama angin. Liukkan hidupnya sudah begitu. Tekanan tak membuat merunduk. Bahkan hidup di bui, yang apa daya badan terkurung, tidak membuat Rizal hilang dari hadapan apa yang disebutnya sebagai kecurangan.
Di sela mengudap panganan sore itu, saya bertanya tentang resep Rizal, yang terlihat seperti begitu mudah bangun dari kejatuhan. “Kuncinya, jangan pernah benci orang, “jawab Rizal. Yang tidak kita suka adalah perilaku. Nothing personal. Kebiasaan orang yang menumpang di kecurangan. Apalagi too much. Siapapun dia. Kawan atau lawan. Kalau hati kita tulus untuk rakyat, bilapun dibenci, itu adalah kekuatan untuk berdiri dengan kepala tegak.
Entah karena prinsip itu, Rizal memang terlihat mudah bertemu dengan orang-orang ditampuk kekuasaan, yang kemudian kembali seperti kita, yang pernah dikritik, bahkan dengan cara yang begitu terbuka. Tidak sulit untuk menelusuri cerita seperti ini. Dari seorang Rizal Ramli. Masuk saja mesin pencari. Kita akan menemukan sekian cerita, senda gurau Rizal dengan mereka yang pernah ditampuk itu.
Kisah suram kita, kata Rizal, di samping karena watak, sebagian disumbangkan oleh sistem. Hulu dari persoalan ekonomi kita datang dari dunia politik. Biaya politik yang kelewat melangit. Menggiring demokrasi ke tangan para pemilik uang. Padahal kita tahu bahwa demokrasi adalah sebuah proyek kolosal. Tentu butuh uang. Calon presiden butuh uang. Calon legislatif butuh uang. Partai politik juga butuh uang.
Bila sepuluh tahun silam, dalam sebuah acara di Jakarta, Rizal dan sejumlah kawannya, mengusulkan agar negara mendanai partai politik, lewat undang-undang keuangan partai politik, yang diaudit secara berkala, itu bukanlah tentang menghitung angka belaka, tapi itu adalah jalan pulang kita dari kemungkinan begitu jauhnya demokrasi hanyut ke tangan pemilik modal.
Bersama Rakyat
Tahun 1978, bersama kawan-kawannya, Rizal pernah keliling Jawa. Dari desa ke desa. Merekam, juga merasakan kesulitan yang menjepit orang-orang kecil. Selain karena melihat kecurangan pada begitu banyak kebijakan, dari kunjungan ke desa-desa itulah dia mengasah bela rasa, dan meledak dalam sekian pekikan di tengah keriuhan unjuk rasa.
Jika hari ini, kita sering menemukan Rizal bersenda gurau dengan orang-orang kecil, duduk di tengah kerumunan mahasiswa, berkunjung ke desa-desa, itu bukanlah karena jalan raya sudah membentang dan angkutan hilir mudik, tapi itu adalah sesuatu yang benihnya sudah masuk ke jiwa raganya semenjak 45 tahun silam itu.
Orang-orang kecil, kata Rizal, lebih mudah berkata jujur. Mereka juga sangat tulus. Ngopi sore itu, ditutup dengan cerita tentang orang-orang kecil. Yang dijumpai Rizal di banyak daerah. Dan oleh karena hari kian petang, kami saling berpamitan.
Meninggalkan kedai kopi itu. Sekitar pukul enam. Di halaman parkir kedai itu saya melihat ada tiga kendaraan. “Sopir Bapak di mana?” tanyaku sembari mencari, melirik tiga pria yang duduk di sudut kanan. “Oh saya naik motor saja,” sahut Rizal. Saya agak terkejut. Belum hilang keterkejutan itu, dia pamit. Lalu menyeberang. Berdiri menunggu di trotoar seberang kedai.
Oleh karena lalu lalang motor bersuara keras, dari parkiran itu setengah berteriak saya menawarkan bantuan, “Saya antar saja Pak.” Dari seberang jalan, dia menyahut sembari melambaikan tangan, “Terima kasih. Gampanglah.” Saya lalu melihat dia melambaikan tangan kepada sejumlah pemotor yang lewat. Motor ketiga berhenti. Seorang anak muda.
Rizal terlihat berbicara sejenak dengan anak muda itu. Lalu naik. Duduk anteng di belakang. Saya masih memperhatikan motor si anak muda itu melaju lurus. Lalu belok kanan. Terus perlahan masuk sebuah gang. Seorang pria paruh baya, yang rupanya petugas parkir di situ, menghampiri saya, “Pak Rizal itu sering ke sini Bang. Kalau pulang biasanya cegat motor yang lewat.” “Oh,” sahutku. Aku masuk mobil sembari menyesali diri. Kenapa aku lupa memotret. Padahal HP ditangan. Sialan.
Artikel Terkait
Gubernur DKI Gak Bisa Tidur Gara-Gara Mimpiin Tiang Monorel Mangkrak 20 Tahun, Ini Rencana Pembersihannya
Zohran Mamdani Puncaki Polling Pilwalkot New York, Buktikan Serangan Rasial & Islamofobia Gagal Galang Dukungan
PSSI Ungkap Syarat Keras untuk Pelatih Baru Timnas Indonesia: Harus Lebih Hebat dari Shin Tae-yong!
Indra Sjafri Soroti Persiapan Timnas U-22 Jelang SEA Games 2025, Ini Strategi Kuncinya