GELORA.ME - Kebijakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengumumkan keluarnya surat perintah penyidikan (Sprindik) pada kasus dugaan korupsi haji tambahan 2023-2024 belum juga mengarah kepada penetapan tersangka. Padahal, KPK sudah melakukan pemeriksaan kepada berbagai pihak dari eks menteri agama, pejabat terkait, asosiasi hingga travel dalam waktu berkisar sebulan belakangan.
Kebijakan tersebut pun dikritik mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan. Novel yang kini menjabat sebagai wakil ketua satgas khusus optimalisasi penerimaan negara tersebut mengungkapkan, berdasarkan UU KPK, lembaga antirasuah itu memiliki kekhususan dibanding aparat penegak hukum lainnya dalam hukum acara pidana. Karena itu, Novel mengaku tidak sepakat dengan kebijakan KPK yang memulai penyidikan tanpa ada penetapan tersangka.
"Saya enggak setuju dengan kebijakan itu. Kenapa? Karena dalam pandangan saya sebagai seorang sarjana hukum, saya melihat itu salah,"ujar Novel seperti dikutip dari acara podcast yang tayang di kanal Youtube Novel Baswedan Official beberapa waktu lalu.
Dia menegaskan, UU KPK mengatakan jika proses penyelidikan di KPK harus memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup. Setelah itu, penyelidik melakukan ekspose untuk mengukur validitas alat bukti yang dihadiri unsur penyidik, penuntut hingga pimpinan. "Pimpinan yang akan memutuskan (naik atau tidak ke penyidikan),"kata dia.
Menurut Novel, definisi penyelidikan tersebut untuk melihat suatu peristiwa hukum apakah merupakan suatu peristiwa pidana atau bukan. "Sehingga ketika itu peristiwa, maka naik menjadi penyidikan,"ujar dia.
Novel mengungkapkan, alat bukti yang harus didapatkan sejak fase penyelidikan oleh KPK seharusnya melekat pada perbuatan seseorang. Karena itu, dia mempertanyakan, bagaimana caranya alat bukti bisa dinyatakan cukup sebagai bukti permulaan yang dikaitkan kepada seseorang tetapi tidak ada penetapan sebagai tersangka. "Ini enggak pas,"ujar dia.
Menurut Novel, jika alat bukti tersebut tidak dikaitkan dengan seseorang maka akan menjadi bias. Terlebih, KPK sejak adanya revisi UU KPK bisa memiliki kewenangan menghentikan sebuah penyidikan atau mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Ini bias yang kemudian hari bisa digunakan untuk kepentingan bukan penegakan hukum,"kata dia.
KPK menepis isu yang menyebutkan Istana Negara mencampuri penetapan tersangka perkara dugaan korupsi penyelenggaraan dan pembagian kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag). KPK menyadari isu tersebut mengemuka karena tak kunjung ada tersangka kuota haji.
"Tidak ada (intervensi), KPK murni penegakan hukum, penetapan tersangka tentu didasarkan pada kecukupan alat bukti,” kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto kepada wartawan, Sabtu (20/9/2025).
KPK menjamin masih mengusut korupsi kuota haji itu. Meski demikian, Fitroh menyadari, penyidik belum menetapkan tersangka karena penyidikan belum tuntas. KPK mengklaim penyidikan memakan waktu lama karena ada ratusan biro perjalanan haji dan belasan asosiasi perjalanan haji. "Hingga saat ini KPK belum menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi kuota haji,” ucap Fitroh.
Sementara itu, Plt Direktur Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu sudah lebih dulu menanggapi isu intervensi Istana dengan memanggil pimpinan KPK. Saat itu, Asep balik mempertanyakan kapan dan siapa yang dipanggil oleh Istana dalam isu itu. "Kalau manggil, manggilnya kapan? Siapa (yang dipanggil)? Nanti kita tanyakan dulu ya ke pimpinan kami, informasi tersebut apakah ada atau ada," kata Asep.
Asep juga mengaku belum mengetahui informasi itu hingga perlu meneruskan kepada pimpinannya. "Karena kami juga belum tahu. Tapi informasinya terimakasih, kami tampung, dan konfirmasi ke pimpinan kami," ucap Asep.
Sebelumnya, KPK mengungkap dugaan asosiasi yang mewakili perusahaan travel melobi Kemenag supaya memperoleh kuota yang lebih banyak bagi haji khusus. KPK mengendus lebih dari 100 travel haji dan umrah diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi kuota haji ini. Tapi, KPK belum merinci ratusan agen travel itu.
KPK menyebut setiap travel memperoleh jumlah kuota haji khusus berbeda-beda. Hal itu didasarkan seberapa besar atau kecil travel itu. Dari kalkulasi awal, KPK mengklaim kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun lebih.
KPK sudah menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan meski tersangkanya belum diungkap. Penetapan tersangka merujuk pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sumber: republika
Artikel Terkait
Di Depan Majelis Hakim, Subhan Palal Bongkar KPU Tiba-Tiba Ubah Riwayat Pendidikan Gibran
DPR Geram Divisi Hubinter Polri Tak Kunjung Tangkap Riza Chalid
Pidato Prabowo di Sidang PBB Ditunggu-tunggu Setelah 10 Tahun Absen
Keraguan Publik Atas Keaslian Ijazah Jokowi Kian Membara Meski Bareskrim Menyatakan Asli