Permainan Abu Nawas di Isu Pemakzulan Wapres Gibran: Siapa Bakal Terjerumus?

- Senin, 07 Juli 2025 | 17:45 WIB
Permainan Abu Nawas di Isu Pemakzulan Wapres Gibran: Siapa Bakal Terjerumus?


Lantas dia mengingatkan jangan sampai pemakzulan ini dijadikan alat untuk membuka kran konflik antara lembaga-lembaga tinggi negara. 


Sejak awal pencalonannya sebagai Wakil Presiden, Gibran memang telah menjadi figur kontroversial. 


Banyak pihak mempertanyakan syarat usia yang akhirnya bisa dilalui berkat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga tak lepas dari sorotan publik karena konflik kepentingan. 


Putusan itu pula yang membuat istilah “nepotisme konstitusional” ramai di media.


Namun kini, dengan Gibran sudah menjabat dan menjadi bagian dari eksekutif, langkah pemakzulan tentu bukan hanya soal legal-formal, tapi juga legitimasi politik.


“Kalau Gibran dimakzulkan, itu bukan hanya soal Gibran. Itu juga akan menjadi koreksi besar terhadap seluruh proses Pilpres 2024


Artinya, ada implikasi ke Prabowo, ke Mahkamah Konstitusi, dan bahkan ke citra demokrasi Indonesia secara keseluruhan,” jelas Amir.


Salah satu faktor yang membuat isu pemakzulan ini, ungkap Amir, bagaikan permainan Abu Nawas adalah karena Gibran bukan figur politik mandiri sepenuhnya. 


Dia berdiri di atas jaringan kekuasaan yang kuat – mulai dari pengaruh mantan Presiden Jokowi, kekuatan oligarki ekonomi, hingga afiliasi dengan kelompok sipil tertentu yang kini mengisi banyak jabatan strategis di pemerintahan.


“Mereka yang mendorong pemakzulan harus paham, ini bukan sekadar menjatuhkan sosok Gibran. Tapi menyentuh kepentingan besar dan kompleks yang menopangnya. Jika ini dijadikan alat tawar-menawar politik, efeknya bisa liar,” kata Amir.


Kini, DPR berada dalam posisi krusial. Di satu sisi, mereka memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti laporan dari masyarakat, termasuk forum purnawirawan. 


Namun di sisi lain, langkah pemakzulan bisa menjadi bumerang politik. 


Apalagi, tidak semua partai politik di parlemen satu suara dalam menyikapi posisi Gibran.


Beberapa fraksi bahkan memilih diam atau menunggu sikap dari elite partai masing-masing. 


Sementara publik terus memantau, sebagian dengan skeptis, sebagian dengan harapan agar DPR tidak sekadar menjadi stempel kekuasaan.


Sumber: MonitorIndonesia

Halaman:

Komentar