Permainan Abu Nawas di Isu Pemakzulan Wapres Gibran: Siapa Bakal Terjerumus?

- Senin, 07 Juli 2025 | 17:45 WIB
Permainan Abu Nawas di Isu Pemakzulan Wapres Gibran: Siapa Bakal Terjerumus?




GELORA.ME - Pengamat geopolitik dan intelijen Amir Hamzah menyoroti isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang kembali mencuat ke ruang publik setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang dimotori oleh mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno melayangkan surat resmi kepada DPR


Bahwa dalam surat tersebut, mereka mendesak agar DPR memulai proses pemakzulan Gibran atas dugaan pelanggaran etika dan konstitusi. 


Amir Hamzah menilai bahwa dinamika ini sarat dengan permainan politik tingkat tinggi. 


Ia menyebutnya sebagaipermainan Abu Nawas”, yaitu manuver yang tampak ingin membongkar kebenaran, namun justru bisa menjerumuskan siapa pun yang terlibat bila tidak cermat membaca arah angin politik.


“Kalau DPR benar-benar ingin menanggapi serius surat dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu, secara hukum administrasi surat tersebut sudah memenuhi unsur formal. 


Tapi ini bukan hanya soal hukum atau konstitusi, melainkan tentang konstelasi kekuasaan yang sedang tarik-menarik. Ada kekuatan besar di balik layar yang jelas tidak menginginkan Gibran dimakzulkan,” kata Amir Hamzah, Senin (7/7/2025).


Situasi menjadi lebih rumit karena dalam waktu hampir bersamaan, beredar juga surat dari kelompok purnawirawan lainnya yang justru menyatakan tidak setuju dengan upaya pemakzulan terhadap Gibran. 


Mereka menyebut gerakan pemakzulan sebagai inkonstitusional dan sarat kepentingan politik praktis. 


Kontrasnya dua sikap dari kelompok purnawirawan ini memunculkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang berbicara atas nama Purnawirawan TNI?


“Dua suara ini seperti pantulan dari konflik elite yang belum selesai. Jangan lupa, di tubuh TNI sendiri masih banyak yang loyal pada garis kebijakan lama dan ada pula yang mendekat ke poros kekuasaan baru."


"DPR harus sangat berhati-hati dalam menyikapi ini. Jika salah langkah, justru bisa memantik instabilitas yang lebih besar,” lanjut Amir.


Pengaruh pernyataan dari para purnawirawan TNI tentu tak bisa dianggap remeh. 


Dalam sejarah Indonesia, suara purnawirawan kerap menjadi bayangan politik yang mempengaruhi barisan aktif di lapangan. 


Walau TNI secara doktrin netral dalam politik, realitasnya tidak sedikit perwira yang memiliki garis afiliasi emosional dan ideologis terhadap senior-senior mereka di masa lalu.


“Pertanyaan terbesar adalah apakah ini hanya manuver simbolik atau bagian dari skenario tekanan yang lebih luas. 


Apakah yang dituju benar-benar Gibran? Atau ini cara untuk menekan Prabowo? Atau bahkan bargaining antar elite di dalam istana sendiri?” tanya Amir.


Lantas dia mengingatkan jangan sampai pemakzulan ini dijadikan alat untuk membuka kran konflik antara lembaga-lembaga tinggi negara. 


Sejak awal pencalonannya sebagai Wakil Presiden, Gibran memang telah menjadi figur kontroversial. 


Banyak pihak mempertanyakan syarat usia yang akhirnya bisa dilalui berkat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga tak lepas dari sorotan publik karena konflik kepentingan. 


Putusan itu pula yang membuat istilah “nepotisme konstitusional” ramai di media.


Namun kini, dengan Gibran sudah menjabat dan menjadi bagian dari eksekutif, langkah pemakzulan tentu bukan hanya soal legal-formal, tapi juga legitimasi politik.


“Kalau Gibran dimakzulkan, itu bukan hanya soal Gibran. Itu juga akan menjadi koreksi besar terhadap seluruh proses Pilpres 2024


Artinya, ada implikasi ke Prabowo, ke Mahkamah Konstitusi, dan bahkan ke citra demokrasi Indonesia secara keseluruhan,” jelas Amir.


Salah satu faktor yang membuat isu pemakzulan ini, ungkap Amir, bagaikan permainan Abu Nawas adalah karena Gibran bukan figur politik mandiri sepenuhnya. 


Dia berdiri di atas jaringan kekuasaan yang kuat – mulai dari pengaruh mantan Presiden Jokowi, kekuatan oligarki ekonomi, hingga afiliasi dengan kelompok sipil tertentu yang kini mengisi banyak jabatan strategis di pemerintahan.


“Mereka yang mendorong pemakzulan harus paham, ini bukan sekadar menjatuhkan sosok Gibran. Tapi menyentuh kepentingan besar dan kompleks yang menopangnya. Jika ini dijadikan alat tawar-menawar politik, efeknya bisa liar,” kata Amir.


Kini, DPR berada dalam posisi krusial. Di satu sisi, mereka memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti laporan dari masyarakat, termasuk forum purnawirawan. 


Namun di sisi lain, langkah pemakzulan bisa menjadi bumerang politik. 


Apalagi, tidak semua partai politik di parlemen satu suara dalam menyikapi posisi Gibran.


Beberapa fraksi bahkan memilih diam atau menunggu sikap dari elite partai masing-masing. 


Sementara publik terus memantau, sebagian dengan skeptis, sebagian dengan harapan agar DPR tidak sekadar menjadi stempel kekuasaan.


Sumber: MonitorIndonesia

Komentar