Tan Malaka dalam sebuah epilog; “Bahwa kemerdekaan itu hanya di rancang oleh sebagian kelompok elit, agar terlihat benar-benar merdeka, wahai sahabatku Soekarno, saya datang untuk menyampaikan kepadamu, bahwa kita belum benar-benar merdeka” pesan monolog yang imajener ini memberi isyarat, kalau fakta-fakta yang dilihat dan dirasakan Tan Malaka adalah wujud kepedulian dan rasa nasionalisme yang kuat terhadap bangsanya.
Di lain sisi, Soekarno pun pernah berpidato dengan lantang; “Bahwa kita baru saja merdeka, lepas dari penjajah, tetapi kelak rakyatku akan dijajah oleh bangsanya sendiri” Soekarno dan Tan Malaka—pada dua dialog tersebut memaknai “kemerdekaan” itu bukan sebatas melepaskan diri dari penjajahan dan segala macam bentuk kolonialisme, tetapi kemerdekaan yang diharapkan adalah kemandirian, kedaulatan; kemandirian dan kedaulatan secara ekonomi dan politik, sehingga tidak terjadi ketimpangan di antara rakyat dengan penguasa demikian pula sebaliknya.
Jiwa nasionalisme dan revolusioner telah membentuk watak bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat, gemar gotong royong, tepo seliro, punya kepedulian satu sama lain. Dengan watak inilah yang kemudian mendorong upaya bagaimana kemerdekaan itu bisa dicapai, tepatnya pada 17 Agustus 1945. Dan itu menjadi landasan terkuat tegaknya bangsa ini hingga detik ini.
Namun setelah 80 tahun kemerdekaan itu, berbagai problematik sosial kemudian muncul dipermukaan di tengah indeks demokrasi “dalam ujian”—kenaikan pajak yang tinggi, korupsi di berbagai sektor pemerintah, BUMN dan kementerian, PHK massal, sulitnya lapangan kerja, rapuhnya penegakan hukum, pendidikan, kesehatan, gizi serta berbagai isu sosial lainnya, yang kemudian membentuk puncak gunung es, yang bisa kapan saja bisa meleleh dan mencair.
Tragedi Agustus
Respon publik yang begitu tinggi terhadap kebijakan pemerintah dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya bukan hanya menjadi “puncak gunung es” tetapi juga menjadi “bara dalam sekam” bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Sebagian pengamat dan analis melihat, kalau Prabowo dikelilingi oleh “Brutus” yang sekali-kali akan menikam dari belakang sebagaimana Julio Caesar di belati Brutus.
Sehingga kemarahan publik dimulai dari aksi demontarsi tanggal 25 Agustus 2025 sebagai warning bagi pemerintah. Tetapi kemudian respon publik itu ditentang oleh beberapa oknum anggota DPR dengan gaya “merendahkan rakyat” sehingga aksi demonstrasi pun terus berlanjut hingga tanggal 30 Agustus 2025—dan berujung rusuh dan penjarahan di berbagai tempat. Apalagi jatuhnya korban dari driver ojek online Affan Kurniawan yang dilindas mobil aparat kepolisian yang bertugas mengamankan aksi demonstrasi di depan gedung DPR. Tragedi ini kemudian menyulut kemarahan massa yang sulit dikendalikan.
Tragedi agustus merupakan efek dari bola salju dari kemarahan massa, presiden Prabowo tentu tahu dan paham bagaimana kemarahan itu terjadi, karena komunikasi publik yang buruk dari beberapa oknum elit politik yang melukai dan mencederai nurani rakyat. bagi Prabowo ini adalah momentum untuk melakukan evaluasi baik itu terkait soal kebijakan yang tidak pro rakyat, maupun kegagalan dari menteri-menterinya di dalam upaya melakukan mitigasi terhadap respon publik yang semakin tinggi.
Harapan Prabowo
Presiden Prabowo Subianto menekankan agar masyarakat tetap tenang dan percaya kepada pemerintah dalam menghadapi dinamika nasional. Kepala Negara menegaskan bahwa semua partai politik, baik yang berada di dalam koalisi maupun di luar pemerintahan, sepakat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Presiden Prabowo meminta dengan sungguh-sungguh kepada seluruh warga negara untuk percaya kepada pemerintahan yang dipimpinnya. Dan juga meminta kepada seluruh partai politik termasuk partai yang di luar pemerintahan, kami bertekad untuk selalu memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa, termasuk rakyat yang paling kecil, rakyat yang paling tertinggal,” ujar Presiden Prabowo dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (31/08/2025).
Presiden Prabowo menyampaikan bahwa pemerintah menghormati aspirasi murni masyarakat yang disampaikan secara damai. Ia juga menegaskan bahwa setiap tuntutan yang disampaikan dengan baik akan didengar, dicatat, dan ditindaklanjuti oleh pemerintah. Selain itu, Presiden Prabowo juga meminta DPR untuk membuka ruang dialog dengan tokoh masyarakat, mahasiswa, dan berbagai kelompok sipil. Menurutnya, penyampaian aspirasi langsung kepada wakil rakyat akan membantu memperkuat jalur komunikasi politik.
Harapan Presiden Prabowo tersebut adalah bukti kepedulian, kesungguhan untuk terus membangun Indonesia tanpa kekerasan. Walau pada kenyataannya kekerasan itu muncul akibat “katarsis publik” yang sulit dikendalikan.
Resuffle kabinet adalah batin politik Prabowo
Pasca gejolak sosial “penjarahan dan kerusuhan” di berbagai kota di Indonesia, maka dengan hak prerogatif presiden dengan membaca situasi yang ada; akhirnya terjadilah pergeseran kekuasaan di tubuh kabinet merah putih. Ada lima menteri yang di resuffle diantaranya; Budi Gunawan (Menteri Koodinator Bidang Politik dan Keamanan), dicopot karena dianggap gagal di dalam melakukan mitigasi aksi, sehingga situasi politik dan keamanan sedikit goyang dan berujung rusuh. Sri Mulyani (Menteri Keuangan) yang dianggap sebagai “bendahara negara” yang punya pengalaman sebagai menteri keuangan pun dicopot. Respon publik yang tinggi terhadap kebijakan pajak yang membuatnya diganti. Abdul Kadir Karding (Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia pun dicopot, setelah respon publik terkait yang bersangkutan “main domino” dengan Azis Wellang pelaku pembalakan liar yang juga membersamai menteri kehutanan Raja Juli Antoni. Publik memandang bahwa ini adalah pelanggaran etika seorang pejabat publik.
Budi Arie Setiadi (Menteri Koperasi) pun dicopot, asumsi publik karena begitu tingginya respon publik terkait kasus judi online yang telah meresahkan masyarakat dan dampak yang ditimbulkannya. Bahkan dalam fakta persidangan pun nama Budi Arie disebut oleh terdakwa. Publik berharap ada kepastian hukum sekaligus penegakan hukum di dalam upaya memberantas judi online tersebut. bahkan termasuk Dito Ariotedjo (Menpora) pun dicopot—yang bukan hanya karena prestasi olah raga yang kian menurun, tetapi publik juga merespon dengan adanya dugaan korupsi dengan pengembalian dana sebesar 27 Milyar dari kasus yang menimpa mantan sekjen Partai Nasdem Joni Plate.
Sehingga dengan hak prerogatif seorang presiden dengan mempertimbangkan respon publik—maka Presiden Prabowo melakukan resuffle kabinet merah putih sebagai bentuk sebagai upaya keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Dan secara politis, resuffle kabinet itu adalah bukti kegagalan pembantu presiden menyikapi tuntutan publik (warga negara). Termasuk upaya membersihkan “Toxit” di lingkaran pemerintahan Prabowo Subianto sebelum menjadi endemi di tubuh kekuasaan.
jadi pada prinsipnya, resuffle kabinet adalah “suara senyap” dari batin politik Prabowo.
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Analis sosial politik, Penggiat Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
TERUNGKAP! Sebetulnya Parlemen Sudah Sepakat Memakzulkan Gibran, Tapi Akhirnya DPR Kena Serang Duluan Lewat Demonstrasi: Ulah Geng Solo?
Investigasi TEMPO: Jokowi Minta Prabowo Tak Ganti Kapolri!
NGERI! Demo Besar Nepal, Perdana Menteri Babak Belur Dihajar Massa Saat Rumahnya Diserbu Demonstran
BRUTAL! Rumah Dibakar Massa Demo, Istri PM Nepal Tewas Terpanggang Hidup-Hidup