AMOK RAKYAT: Gegara Jokowi Masih Kendalikan Pemerintahan Prabowo

- Minggu, 07 September 2025 | 15:15 WIB
AMOK RAKYAT: Gegara Jokowi Masih Kendalikan Pemerintahan Prabowo


AMOK RAKYAT: 'Gegara Jokowi Masih Kendalikan Pemerintahan Prabowo'


Jubir Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Mawardi hadiri Halaqah secara daring di @Abdul Wahid Maktub dengan tema “Hukum Demonstrasi” Pada Sabtu 6/9/2025.


Adhie Massardi mengawali bicara dengan menyampaikan baru saja  menyaksikan sesuatu yang ironis. 


Karena sepekan setelah kita merayakan hari ulang tahu Proklamasi kemerdekaan  dimana para pembesar negara tampaknya sangat senang sehingga berjoged-joged. 


Tapi sepekan kemudian terjadilah pergolakan di hampir seluruh Indonesia. Beberapa diantaranya penuh dengan kemarahan, ada api dan lain-lain.


“Saya bersama Din Syamsuddin, Rahmat WahabJendral Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan lainnya kalangan intelektual, cendekia , Tokoh-tokoh masyarakat membuat Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tahun 2020 diresmikan tanggal 18 Agustus 2020,” ujar Adhie Massardi.


Landasan membentuk KAMI karena KAMI melihat periode ke dua pemerintahan Joko Widodo ini makin jauh menyimpang dari apa yang dicita-citakan oleh para founding fathers kita tentang kemerdekaan. 


Hampir semua hal dilanggar. KAMI ingin menjadi bercermin bagi pemerintahan. 


Tentu saja cermin yang menjadi bingkai dengan bingkai konstitusi dan pancasila sehingga kalau ada tingkah laku atau kebijakan-kebijakan pemerintah, kita kasih cermin : Ini lho !. 


Ini apakah lebijakan ini mencerdaskan kehidupan bangsa? Melindungi segenap Bangsa?  Mensejahterakan bangsa atau tidak,  ada perikemanusiaannya, ada keadilan sosial apa ngga?


“Nah rupanya ketika kita tampilkan  cermin kepada pemerintah, mungkin dia melihat sesuatu yang menakutkan yakni yang buruk sehingga kemudian seperti biasalah buruk muka cermin dibelah,” kata Deklarator KAMI ini.


“Kemudian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia dianggap sebagai organisasi terlarang. Beberapa kawan saya seperti Syahganda, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan lain-lain, di daerah ditangkapin dengan alasan yang tidak jelas,” imbuhnya.


Dari situ kerusakan ini yang kita semua sudah tahu lanjut Adhie, mulai dari penggunaan APBN yang hampir tanpa perhitungan sehingga melahirkan situasi fiskal yang kuar biasa parahnya. 


Kemudian Pemerintah Pusat, Kementerian Keuangan Sri Mulyani melakukan desentralisasi fiskal anggaran untuk daerah dan lalu dipotongnya sehingga daerah diminta untuk mencari uang sendiri.


“Itulah sebabnya kenapa daerah-daerah menaikkan pajak PBB dan retribusi karena pendapatan daerah ngga ada lain lagi kecuali PBB dan retribusi. Dan inilah meledaknya daerah mulai dari Pati , kemudian yang sebelumnya banyak tin bukan masalah,” ungkapnya.


Dan kata Adhie, kita semua tahu di banyak hal soal bagaimana Konstitusi dilanggar, diperkosa sampailah lahirnya anak haram konstitusi. 


Kemudian lagi, membuat 300 doktor, Guru Besar melakukan aksi Amicus Curae ke Mahkamah Konstitusi agar menegakkan keadilan sesuai dengan Konstitusi kita. Namun hal ini diabaikan.


Soal Infrastruktur


Infrastruktur, hampir semuanya tanpa AMDAL, tanpa studi yang membuat anggaran menjadi berantakan. 


Kebijakan  yang dibuat Sri Mulyani bahwa negara yang akhirnya membolehkan BUMN yang ditunjuk oleh Presiden untuk menjalankan proyek-proyek infrastruktur berhutang.


“Dari itu akibatnya apa? Akibatnya BUMN menjadi bangkrut karena tidak bisa bayar hutang,” ujarnya.


Sementara tol Infrastruktur Adhie menuturkan,  yang dibuatnya dengan cara-cara mark up dan penyimpangan-penyimpangan akhirnya jatuh menjadi mahal. 


Kemahalan pembuatan tol itu dibebankan kepada rakyat sehingga tidak efektif untuk menjadi stimulus ekonomi seperti di negara – negara lain. 


Kemudian lagi pelanggaran HAM seperti Kanjuruhan, KM 50 dan masih banyak lagi lainnya.


Semua itu harus ada pertanggungjawabannya dan ekonomi makin berantakan juga. 


Banyak hal yang membuat masyarakat menjadi marah selama bertahun-tahun, selama 10 tahun.


Belum lagi IKN, kereta cepat yang bagi rakyat itu tidak layak dan belum diperlukan. Kereta cepat menggunakan APBN dan faktanya merampas APBN. 


Kemudian lagi survey, disebutkan  kepuasan publik 85%. Kepalsuan-kepalsuan ini terus terjadi hingga muncul Presiden baru yakni Presiden Pranowo.


“Apa yang terjadi setelah ganti Presiden baru Prabowo ? Joko Widodo tetap intervensi memasukan orang-orangnya, karena dia lah yang menjadikan Prabowo maju sebagai Presiden. Nah persoalan terus terakumulasi,” jelas Adhie.


Pada tanggal 18 Agustus 2025, KAMI lakukan Reuni di Jogja  di antaranya dinyatakan bahwa ada sabotase di dalam struktur pemerintahan Prabowo dari orang-orangnya Jokowi yang akan merusak reputasi Prabowo. Jadi KAMI sudah ingatkan terkait hal ini.


Dengan mem-breakdown beberapa persoalan misalnya tanah itu punya negara bukan punya rakyat. Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, tidak punya tanah satu incipun. 


Sekarang negara mau mengambil dan membagikan kepada taipan-taipan. Hal-hal seperti itu membuat rakyat marah.


“KAMI sudah mengingatkan kepada Prabowo bahwa akan terjadi pendongkelan oleh orang-orangnya Jokowi, malah dijawab oleh Prabowo dengan memberikan gelar kehormatan Maha Putra kepada para pejabat. Padahal KAMI tahu keadaan sedang tidak dalam keadaan baik,” kata Adhie.


Adhie mengatakan berkaca dari pergolakan kemarin terjadi demonstrasi pada tanggal 25-30 Agustus. 


Demonstrasi bukan barang baru di negeri di Republik ini. Marilah kita perbaiki, kejadian lebih besar jangan terulang kembali.


Salam Satu Aspal: 'Rakyat Mati dan Jenderal Diam'


Dalam film “Naga BonarDeddy Mizwar secara satire pernah curhat pada sebuah patung. Ya, patung Jenderal di bilangang Dukuh Atas, Jakarta yang berdiri megah.


Sejarah selalu punya cara yang aneh untuk menandai dirinya sendiri. 


Di negeri ini, bukan di istana, bukan di ruang rapat parlemen, bukan pula di kampus-kampus elit, melainkan di jalan raya rakyat mati menjadi martir. Tahun 1998, mahasiswa Trisakti gugur di Jalan Jenderal S. Parman, Grogol. 


Setahun kemudian, bentrokan demi bentrokan pecah di Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Jenderal Gatot Subroto, hingga jalan-jalan lain yang diambil-alih mahasiswa dan rakyat. 


Nama-nama jenderal yang pernah menjadi simbol perjuangan justru menjadi saksi bisu ketika rakyat ditembak, dihantam, dan dibungkam.


Kini, sejarah itu seakan berulang. Seorang pengemudi ojek online (ojol) tewas dilindas Baraccuda Brimob di jalan utama. 


Peristiwa itu tidak hanya menyisakan darah dan duka, tetapi juga simbol-simbol yang tajam: seragam hijau ojol versus seragam hitam “ninja” Brimob. Sebuah tabrakan bukan sekadar fisik, melainkan tabrakan kelas, tabrakan makna, tabrakan sejarah.


Seragam sebagai Simbol: Hijau Ojol vs Partai Cokelat


Seragam ojol adalah lambang rakyat kecil di era digital: pekerja lepas, bergantung pada aplikasi, menggantungkan hidup pada orderan yang datang tak menentu. 


Mereka adalah wajah baru proletariat urban. Seragam hijau itu membawa pesan: kesetiaan pada keluarga, perjuangan di jalan, dan pengorbanan sehari-hari demi sesuap nasi.


Berhadapan dengan itu, seragam Brimob adalah lambang negara yang bersenjata. 


Disiplin, tegas, namun sering kali kaku dan brutal. Di balik seragam hitam itu ada legitimasi hukum, tapi juga ada bayang-bayang kekuasaan yang sering melindas rakyat yang justru harus dilindungi. 


Saat roda Baraccuda menghancurkan tubuh seorang ojol, yang hancur bukan hanya jasad seorang manusia, melainkan martabat seluruh rakyat jelata.


Di jalanan Para Jenderal: Ironi Sejarah yang Berdarah


Ada ironi besar di negeri ini: rakyat kecil selalu mati di jalan-jalan yang namanya diambil dari para jenderal. 


Jalan Jenderal S. Parman, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Jenderal Gatot Subroto—semua nama besar itu seolah menjadi panggung di mana darah rakyat tumpah.


Jenderal-jenderal yang namanya diabadikan di jalan raya adalah mereka yang pernah melawan penjajahan, pernah dipuja sebagai pahlawan. 


Namun, apa artinya nama besar itu jika di atas aspal yang menyandang nama mereka, rakyat kembali menjadi korban represi? Jalan-jalan itu menjadi paradoks: monumen untuk pahlawan, tapi sekaligus kuburan tanpa nisan bagi rakyat jelata.


Kelahiran Revolusi: Dari Mahasiswa ke Ojol


Revolusi di Indonesia tidak lahir dari pidato manis di parlemen, melainkan dari darah yang tercecer di jalan raya. 


Mahasiswa Trisakti gugur di Jalan Jenderal S. Parman, lalu meledaklah Reformasi 1998. Kini, ketika seorang ojol dilindas Baraccuda di Jalan Jenderal Gatot Subroto, jalan utama, sejarah membuka lagi babak baru: rakyat jelata sebagai martir.


Mahasiswa dulu adalah simbol suara nurani bangsa. Kini, ojol adalah simbol rakyat pekerja yang tak lagi punya ruang aman, bahkan di jalan raya yang seharusnya menjadi ruang publik. 


Ketika ojol mati dilindas kendaraan perang negara, itulah tanda bahwa kontrak sosial sudah koyak. Negara bukan lagi pelindung rakyat, melainkan predator yang siap menggilas siapa pun.


Dari Jalan Raya Menuju Revolusi


Setiap perlawanan besar selalu lahir dari simbol kecil yang diremehkan. Seorang tukang roti di Tunisia yang membakar dirinya memicu Arab Spring. 


Seorang sopir ojek online yang mati dilindas Baraccuda bisa jadi api yang menyulut Revolusi Indonesia baru.


Karena di balik seragam hijau ojol ada jutaan rakyat kecil yang menahan lapar. Di balik roda Baraccuda ada negara yang semakin buta dan tuli. 


Dan di balik nama-nama jalan jenderal yang membisu ada pertanyaan: untuk siapa republik ini berdiri, jika rakyat terus mati di jalan raya?


Maka jangan heran, jika dari darah seorang ojol lahir Revolusi. Bukan karena rakyat suka kekacauan, melainkan karena negara sendiri yang mengajarkannya: bahwa hidup rakyat murah, bahwa jalan raya bukan untuk mereka, bahwa keadilan hanyalah retorika.


Dan ketika rakyat sadar akan semua itu, tak ada lagi yang bisa menahan arus sejarah. Revolusi akan dimulai di jalan raya. ***

Komentar