Ketika Presiden Menjadi Agen Kejahatan

- Senin, 28 Juli 2025 | 23:15 WIB
Ketika Presiden Menjadi Agen Kejahatan


"Tuan rumah takkan berunding dengan maling." 

UCAPAN legendaris dari salah satu pendiri Indonesia Tan Malaka ini masih terasa gaungnya hingga kini. Praktik kekuasaan di Indonesia yang terus memberi ruang bagi para maling global dan lokal menciptakan kehancuran dan kemiskinan rakyatnya. Penjajahan. 

Ada masa ketika penjajahan datang dari luar. Kini, penjajahan menjelma dalam bentuk kekuasaan internal—dari para pemimpin yang memanipulasi mandat rakyat untuk memperkaya oligarki, merampas sumber daya, dan menyandera demokrasi.

Sejarah memberi banyak contoh. Dari Kiev hingga Jakarta. Indonesia kini berada di tepi jurang yang sama, bersama negara-negara yang terjerembab karena presidennya menjadi agen utama kejahatan ekonomi-politik. Negara tak lagi dijalankan demi rakyat, tetapi demi segelintir elite yang mengisapnya perlahan seperti parasit haus darah.

Di Sri Lanka, Mahinda Rajapaksa memimpin dengan retorika nasionalisme, namun di baliknya ia dan keluarganya menjarah anggaran, memupuk utang luar negeri, dan menjadikan negara itu bangkrut. Di Venezuela, Hugo Chávez mewariskan ekonomi rapuh yang diperdalam oleh Nicolás Maduro melalui korupsi, kontrol harga, dan represi politik.

Di Zimbabwe, Robert Mugabe menghancurkan pertanian lewat kebijakan populis yang justru menjerumuskan jutaan rakyat ke dalam kelaparan. Bahkan Volodymyr Zelensky, yang digadang sebagai simbol perlawanan, justru kini dicurigai menumpang perang untuk mengonsolidasikan kekuasaan, membungkam oposisi, dan mempererat jejaring korupsi militer-sipil.

Indonesia tidak terkecuali. Di bawah dua periode pemerintahan Joko Widodo, rakyat disuguhkan wajah kekuasaan yang mengabdi pada kapitalisme kroni. Bukan hanya soal hilangnya etika dalam nepotisme Gibran, Bobby, dan Kaesang, melainkan soal pembelahan terang antara hukum bagi rakyat dan hukum bagi istana.

Kebijakan strategis seperti food estate, IKN, UU Cipta Kerja, hingga restrukturisasi BUMN hanyalah nama indah untuk proyek perampokan legal terhadap tanah, hutan, dan sumber daya nasional.

Pembangunan dijadikan dalih untuk menyedot dana publik ke kantong swasta yang dekat dengan kekuasaan. Dalam istilah Hannah Arendt, ini bukan lagi administrasi, tetapi “banalitas kejahatan”—di mana kerusakan sistemik disamarkan oleh prosedur birokrasi yang tampak legal.

Naomi Klein menyebut fenomena ini sebagai shock doctrine: saat bencana, ketidakstabilan, atau krisis digunakan sebagai pintu masuk bagi kebijakan neoliberal yang merampas hak rakyat. Pandemi Covid-19, misalnya, dijadikan landasan pengeluaran utang luar negeri tanpa kontrol publik yang memadai.

Sementara rakyat kehilangan pekerjaan, oligarki justru bertambah kaya. Dalam rezim seperti ini, negara bukan pelindung, melainkan agen kapitalisme predator.

Achille Mbembe, tentang Necropolitics mengingatkan bahwa negara dapat berubah menjadi kekuatan yang menentukan siapa yang hidup dan siapa yang boleh mati—secara harfiah maupun struktural.

Lihat saja: kriminalisasi aktivis, kriminalisasi warga adat, pembiaran terhadap kemiskinan struktural, pembungkaman ruang kritik, hingga pasifnya penegakan hukum terhadap dugaan ijazah palsu presiden. Semua itu menunjukkan bahwa kekuasaan kini memproduksi kematian sosial dan politik.

Kita sedang menyaksikan pergeseran fungsi negara. Jika dalam konstitusi negara dibentuk untuk melindungi segenap bangsa, kini negara dikelola untuk melindungi segelintir pemilik modal dan kroni politik. Demokrasi direduksi sekedar pemilu.

Sejatinya negeri ini dicita-citakan menghadirkan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Dalam pandangan Bung Karno, demokrasi ekonomi berarti bahwa rakyat memiliki kontrol atas alat-alat produksi dan ekonomi negara.

Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan besar harus berada di tangan negara, yang dalam hal ini adalah rakyat, bukan di tangan borjuis atau ningrat.

Tujuan utama dari demokrasi ekonomi adalah untuk menghapuskan penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh kaum kapitalis dan imperialis. Dengan demikian, rakyat dapat menikmati hasil dari perusahaan-perusahaan yang mereka miliki dan kontrol.

Bung Karno menekankan bahwa demokrasi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari demokrasi politik. Kedua konsep ini harus berjalan seiring untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks ini, demokrasi politik berarti bahwa rakyat memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan dan mengontrol kebijakan negara. 

Dengan demikian, demokrasi ekonomi menurut Bung Karno adalah konsep yang holistik dan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, di mana rakyat memiliki kontrol atas ekonomi dan politik negara.

Sementara dalam keseharian, rakyat diabaikan. Lihatlah Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Demokrasi kita yang memburuk tiap tahun. Ini bukan sekadar indikator, tapi cermin bahwa rakyat sedang dikhianati dari dalam.

Peringatan klasik dari Lord Acton —kekuasaan absolut merusak secara absolut. Dan dalam kasus Indonesia hari ini, kekuasaan tidak hanya koruptif, tetapi juga manipulatif dan destruktif. Negara dirampok bukan oleh penjajah asing, tetapi oleh pemimpinnya sendiri, atas nama pembangunan, kemajuan, dan stabilitas.

Rakyat tidak butuh pembangunan yang menindas. Rakyat butuh keadilan yang membebaskan. Negara tidak boleh menjadi pelindung oligarki. Negara harus kembali ke khitahnya: Melayani. rmol.id

OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI
Penulis adalah Advokat; Aktivis Pro Demokrasi (ProDem)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar