Di tengah hiruk pikuk dan sinisme terhadap dunia politik, sebuah kisah
inspiratif muncul dari gang sempit di Koja, Jakarta Utara.
Sahdan Arya Maulana, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, viral bukan karena
sensasi, melainkan karena aksi nyata.
Baru dua bulan menjabat sebagai Ketua RT 007/RW 08 Kelurahan Rawa Badak
Selatan, ia membuat gebrakan yang menampar banyak pihak, mengecor jalan
rusak sepanjang 100 meter yang sudah lama dikeluhkan warga.
Aksi ini bukan proyek pemerintah, melainkan hasil swadaya murni. Sahdan,
bersama jajaran pengurus RT-nya yang juga berusia tak jauh beda, mengalihkan
seluruh biaya operasional mereka selama dua bulan, ditambah donasi warga,
untuk membiayai perbaikan yang menelan biaya Rp20 juta tersebut.
"Ada yang sebagian dari swadaya dan dari kita. Nah dari kita itu, biaya
operasional kita itu semua kita alihkan ke pembangunan semua. Jadi kita
selama dua bulan ini tidak pernah ngambil biaya BOP (bantuan operasional) RT
sepeser pun," ungkap Sahdan dikutip video yang beredar di media sosial.
Kisah Sahdan, yang menang telak dalam pemilihan RT melawan kandidat yang
lebih tua, dengan cepat menjadi simbol baru kepemimpinan anak muda.
Ia membuktikan bahwa usia bukanlah halangan untuk peduli dan membawa
perubahan. Aksi kepeduliannya terhadap lingkungan warga ini lebih dari
sekadar memperbaiki infrastruktur, ini adalah sebuah pernyataan politik yang
kuat.
Dari Gang Sempit ke Panggung Politik yang Lebih Luas
Apa yang dilakukan Sahdan adalah politik dalam bentuknya yang paling murni:
mengorganisir sumber daya dan mengambil tindakan kolektif untuk kebaikan
bersama.
Ini adalah antitesis dari citra politik yang selama ini melekat di benak
banyak anak muda—kotor, penuh intrik, dan hanya mementingkan kekuasaan.
Fenomena ini memicu pertanyaan krusial: bisakah energi positif seperti yang
ditunjukkan Sahdan ditularkan ke arena politik yang lebih besar, terutama
oleh Generasi Z dan Milenial?
Generasi muda saat ini kerap dicap apatis terhadap politik. Namun,
realitanya lebih kompleks. Mereka bukan tidak peduli, tapi lebih memilih
jalur partisipasi yang berbeda.
Mereka aktif dalam gerakan sosial, peduli pada isu-isu lingkungan,
kesetaraan gender, dan hak asasi manusia.
Platform digital menjadi senjata utama mereka untuk menyuarakan aspirasi dan
menggalang dukungan, mengubah lanskap politik konvensional.
Kisah Sahdan adalah manifestasi dari semangat ini. Ia memulai dari masalah
paling konkret di lingkungannya—jalan rusak—dan menyelesaikannya.
Ini adalah bentuk "politik solusi" yang diidamkan banyak orang. Tindakan ini
secara tidak langsung mengirimkan pesan kepada para politisi di level yang
lebih tinggi: rakyat, terutama anak muda, mendambakan pemimpin yang bekerja
nyata, bukan sekadar berwacana.
Bahkan, Sahdan sendiri memiliki cita-cita menjadi Gubernur DKI Jakarta,
sebuah mimpi yang ia mulai dari bawah.
Menavigasi Disrupsi Politik: Bisakah Anak Muda Bertahan?
Jalan bagi anak muda untuk terjun ke politik praktis tidaklah mulus.
Panggung politik saat ini diwarnai oleh disrupsi yang mengkhawatirkan:
polarisasi tajam, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, serta dominasi
politik uang.
Kondisi ini bisa membuat idealisme anak muda layu sebelum berkembang. Banyak
yang khawatir terjebak dalam sistem yang korup atau tergilas oleh permainan
politik yang tidak sehat.
Namun, di sinilah letak tantangannya. Dengan populasi yang
mendominasi—pemilih dari Gen Z dan Milenial mencapai lebih dari separuh
total pemilih pada Pemilu 2024—anak muda memiliki kekuatan tawar yang luar
biasa.
Mereka adalah kingmaker yang dapat menentukan arah masa depan politik
Indonesia.
Kekuatan ini harus diimbangi dengan kecerdasan politik agar tidak menjadi
mangsa empuk bagi politisi pragmatis.
Lantas, bagaimana caranya agar Gen Z dan Milenial bisa berpolitik secara
sehat di tengah badai disrupsi ini?
Mulai dari Lingkungan Terdekat: Aksi Sahdan adalah contoh sempurna.
Kepedulian politik tidak harus selalu dimulai dari panggung nasional.
Menjadi aktif di karang taruna, komunitas, atau bahkan menjadi pengurus
RT/RW adalah kawah candradimuka untuk melatih kepemimpinan dan integritas.
Bangun Literasi Politik dan Digital: Di era informasi yang berlimpah,
kemampuan memverifikasi fakta adalah kunci. Jangan mudah terprovokasi oleh
berita sensasional atau politik identitas. Cari tahu rekam jejak kandidat
secara mendalam, bukan hanya dari popularitas di media sosial.
Menuntut Politik Berbasis Gagasan: Anak muda harus mendorong pergeseran dari
politik sensasi ke politik substansi.
Tanyakan apa program konkrit para calon terkait isu-isu yang penting bagi
anak muda, seperti lapangan kerja, perubahan iklim, dan kesehatan mental.
Menjaga Integritas sebagai Harga Mati: Godaan terbesar dalam politik adalah
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Memegang teguh nilai kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas adalah
fondasi untuk menciptakan politik yang bersih dan aman.
Seperti yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW, "Jujurlah apabila kalian
berbicara, penuhilah janji kalian jika berjanji, laksanakanlah amanah jika
kalian diberi amanah".
Aksi nyata seorang ketua RT berusia 19 tahun di Koja telah menyalakan
percikan api.
Ini adalah panggilan bagi jutaan anak muda di seluruh Indonesia untuk tidak
lagi memandang politik sebagai sesuatu yang jauh dan kotor, melainkan
sebagai alat perjuangan untuk menciptakan lingkungan dan masa depan yang
lebih baik.
Sumber:
suara
Foto: Sahdan Arya Maulana pemuda di Kota, Jakarta Utara yang jadi Ketua RT
muda dengan membuat gebrakan untuk warganya. (Instagram)
Artikel Terkait
Kasus Ijazah Jokowi Naik ke Penyidikan, Roy Suryo: Janggal, karena Fotokopi Bukan Bukti
Dilanda Isu Miring hingga Anak dan Menantu, Jokowi Tak Gentar: Siap Unjuk Ijazah Asli di Pengadilan
Bendahara Negara Usul Tambah Anggaran Rp 4,88 Triliun
Tanggapi Replik Jaksa, Kubu Tom Lembong: Inkopkar Pinjam Gula untuk Perintah Jokowi