GELORA.ME - Upaya Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka untuk memposisikan diri sebagai pemimpin yang akrab dengan teknologi masa depan mendapat sorotan tajam.
Promosinya yang gencar terhadap kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) justru dinilai menyimpan bahaya laten yang serius jika tidak ditangani dengan pemahaman komprehensif.
Kritik pedas ini datang dari Prof. Sulfikar Amir, seorang Professor of Science dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura.
Dalam sebuah analisis di podcast Forum Keadilan TV, ia membedah narasi AI yang dibangun oleh Gibran dan menyebutnya cenderung glorifikasi yang dangkal dan naif.
Menurut Prof. Sulfikar, citra melek teknologi yang coba dibangun putra sulung Presiden Jokowi itu tidak diimbangi dengan pemahaman substansial mengenai kompleksitas AI.
"Gibran mencoba membangun identitas sebagai Wapres yang melek teknologi dengan mempromosikan AI," ungkap Prof. Sulfikar.
Namun, ia dengan cepat menggarisbawahi kelemahan fundamental dari narasi tersebut.
"Narasi Gibran terkait penggunaan AI dinilai sangat naif, dangkal, dan hanya mengglorifikasi AI tanpa pemahaman mendalam tentang cara kerja dan dampaknya."
Prof. Sulfikar menegaskan bahwa AI bukanlah sekadar persoalan komputer canggih atau algoritma.
Ada ekosistem kompleks yang melingkupinya, mulai dari regulasi hingga pertanggungjawaban etis dan sosial yang kerap luput dari diskusi di level elite politik.
"AI tidak hanya soal komputer dan algoritma, tetapi juga mencakup institusi, regulasi, etika, dan tanggung jawab sosial," jelasnya.
Atas dasar itu, ia mewanti-wanti potensi bencana dari promosi yang gegabah.
"Promosi AI yang dilakukan Gibran berpotensi memiliki dampak buruk jika tidak didasari pemahaman yang komprehensif," tegasnya.
Ancaman 'Pembodohan' Massal dan Risiko Penurunan Kognitif
Salah satu kekhawatiran paling serius yang diungkapkan Prof. Sulfikar adalah potensi AI untuk menurunkan kapasitas kognitif manusia secara massal.
Ia merujuk pada sebuah studi kredibel dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menunjukkan sisi gelap dari ketergantungan pada model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT.
"Penelitian dari MIT menunjukkan bahwa penggunaan AI (khususnya Large Language Model seperti ChatGPT) dapat membuat orang tambah bodoh karena mengurangi konektivitas otak."
Logikanya sederhana: AI dirancang untuk mengambil alih fungsi kecerdasan alami manusia.
Ketika kecerdasan alami itu jarang diasah, kemampuannya pun akan tumpul. Dari premis ini, Prof. Sulfikar menarik kesimpulan yang menohok.
"Mempromosikan AI secara besar-besaran tanpa pemahaman yang cukup berarti ikut mempromosikan kebodohan."
Ia menambahkan ironi di baliknya, "Kecerdasan buatan dirancang untuk menggantikan kecerdasan natural, dan jika kecerdasan natural jarang digunakan, kapasitasnya akan berkurang."
Sebagai antitesis dari pendekatan Indonesia yang terkesan gegabah, ia mencontohkan Singapura.
Negara tetangga itu sangat berhati-hati dalam mengadopsi AI, terutama di sektor krusial seperti pendidikan.
"Singapura sangat hati-hati dalam penggunaan AI, menetapkan batas yang jelas kapan boleh dan tidak boleh digunakan, bahkan memberikan nilai nol pada mahasiswa yang menyalahgunakan AI dalam tugas," paparnya.
Tiga Konsekuensi Sosial yang Mengintai dan Kritik Kebijakan
Lebih jauh, Prof. Sulfikar memetakan setidaknya tiga konsekuensi sosial besar yang mengintai Indonesia jika adopsi AI tidak dikelola dengan bijak.
Pertama adalah disrupsi pasar tenaga kerja.
"Kehilangan lapangan pekerjaan untuk jutaan orang," katanya.
Kedua, revolusi di dunia pendidikan di mana "peran guru dan profesor bisa tergantikan."
Dan yang ketiga, ancaman terhadap stabilitas sosial-politik melalui "penyebaran informasi palsu (seperti deep fake) yang dapat menyebabkan disrupsi sosial politik."
Ia juga pesimis Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam revolusi AI global.
Menurutnya, Indonesia hanya akan menjadi pasar.
"Indonesia kemungkinan besar hanya akan menjadi pengguna atau penonton dalam dunia AI karena butuh investasi besar dan negara lain sudah memulai jauh lebih dulu."
Pada akhirnya, promosi AI yang dilakukan Gibran dipandang sebagai cerminan dari keterbatasan dalam memahami isu-isu kompleks dan bisa memperburuk masalah yang sudah ada.
"Promosi AI oleh Gibran bisa jadi merupakan indikator keterbatasannya dalam memahami masalah yang kompleks," ujarnya, seraya khawatir bahwa "AI bisa memperparah ketimpangan sosial dan rendahnya daya kognitif anak-anak."
Prof. Sulfikar menyimpulkan bahwa seluruh pendekatan ini tidak terencana secara matang.
"Apa yang dilakukan Gibran dalam promosi AI lebih berdasarkan intuisi, tidak terprogram secara sistematis, dan tidak ada grand design kebijakan AI yang jelas," pungkasnya.
Ia bahkan menyentil gaya kepemimpinan yang lebih mengutamakan kerja praktis ketimbang kajian mendalam.
"Gibran dan ayahnya (Jokowi) dinilai tidak suka kajian dan lebih suka 'kerja, kerja, kerja'."
Ambisi Gibran Bawa AI ke SMA hingga TK Jadi Sorotan Publik: Konyol dan Membahayakan, Wapres Makin Oleng!
GELORA.ME - Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) bukan lagi sekadar teknologi masa depan, melainkan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari saat ini.
Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, menegaskan bahwa generasi muda harus siap menghadapi revolusi AI dengan membekali diri sejak dini.
Oleh karena itu, ia tengah mengupayakan agar generasi muda lebih akrab dengan teknologi AI, terutama di tingkat SMA.
"Kami dalam upaya sosialisasi dan juga membumikan AI di tingkat SMA," ujar Gibran dalam acara Talkshow & Showcase Inovasi Artificial Intelligence (AI) bertajuk Artificial Intelligence: Shaping Indonesia’s Future di Universitas Pelita Harapan (UPH), Karawaci, Tangerang, Kamis (20/3/2025).
Pembelajaran AI Usia Dini
Namun, Gibran tak ingin berhenti di SMA. Ia bercita-cita agar AI dapat diperkenalkan lebih awal, bahkan sejak usia dini.
"Harapannya nanti ke depan bisa SMP, SD sampai TK mungkin," katanya dengan penuh optimisme.
Sebagai langkah awal, AI akan dikenalkan dengan cara yang sederhana dan menyenangkan agar lebih mudah dipahami.
"Jadi kemarin kita belajar yang basic-basic dulu lah. Basic-basic untuk prompting dan lain-lain. Lalu membuat video-video atau grafis-grafis yang lucu-lucu. Dan juga menggunakan beberapa tools untuk menyelesaikan persoalan-persoalan matematika dan lain-lain," jelasnya.
Menurutnya, pendekatan ini akan membantu generasi muda untuk lebih akrab dengan AI sebelum mereka benar-benar mendalami teknologi tersebut.
"Intinya untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas," tegas Gibran.
Fakultas AI Pertama di Indonesia
Di kesempatan yang sama, Gibran juga menyoroti langkah besar UPH yang baru saja meresmikan Fakultas AI pertama di Indonesia pada awal Maret lalu.
"Saya sangat mengapresiasi karena UPH yang pertama punya fakultas AI di Indonesia," ungkapnya di Gedung D UPH.
Gibran mengaku senang melihat UPH menjadi institusi pendidikan yang sigap merangkul perkembangan teknologi, terutama AI.
Ia mengingatkan bahwa negara-negara lain sudah lebih dulu bergerak cepat dalam mendorong generasi muda untuk memanfaatkan AI.
"Di negara-negara lain, pemerintahnya sudah mendorong anak-anak muda untuk menggunakan AI. Kita enggak boleh ketinggalan," ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa AI bukan ancaman bagi manusia, melainkan alat untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas.
"Manusia yang tidak menggunakan AI akan dikalahkan oleh manusia yang menggunakan AI," tambahnya.
Fakultas AI di UPH hadir dengan kurikulum berstandar internasional, mengusung berbagai topik penting seperti Machine Learning, Computer Vision, Natural Language Processing, hingga Ethical AI.
Dengan pendidikan AI yang lebih terstruktur, generasi muda Indonesia diharapkan mampu menjadi talenta digital yang siap bersaing di kancah global.
Dengan perkembangan pesat teknologi saat ini, langkah-langkah yang diambil Gibran dan institusi pendidikan seperti UPH menjadi bukti bahwa Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi era kecerdasan buatan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah AI akan mengubah dunia, tetapi seberapa siap kita untuk ikut membentuk masa depan dengan AI?
👇👇
Gibran Dorong AI di Sekolah, Tapi Apakah Ini Langkah yang Tepat?
Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini mengusulkan agar kecerdasan buatan (AI) dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia.
Langkah ini diklaim sebagai upaya untuk memastikan bahwa generasi muda tidak tertinggal dalam perkembangan teknologi global yang semakin pesat.
Gibran menekankan bahwa guru dan siswa harus segera beradaptasi dengan AI agar tidak ketinggalan zaman.
Namun, di balik ambisi besar ini, muncul berbagai kritik dan kekhawatiran, terutama terkait dampak negatif dari ketergantungan siswa pada AI dalam proses belajar.
Tidak dapat disangkal bahwa AI memiliki potensi besar dalam dunia pendidikan.
AI dapat membantu siswa mengakses informasi dengan cepat, mempermudah tugas-tugas akademik, dan meningkatkan efisiensi belajar.
Namun, terlalu bergantung pada AI dapat membawa konsekuensi yang serius.
1. Menurunnya Kemampuan Berpikir Kritis
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah risiko menurunnya kemampuan berpikir kritis siswa.
Jika AI terus digunakan untuk menyelesaikan tugas sekolah, siswa akan terbiasa mencari jawaban instan tanpa benar-benar memahami proses berpikir di baliknya.
Ini dapat membuat mereka kehilangan kemampuan untuk menganalisis masalah secara mendalam dan menemukan solusi secara mandiri.
2. Kreativitas yang Semakin Tumpul
Pendidikan bukan hanya tentang menghafal informasi, tetapi juga mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir out-of-the-box.
Ketika AI digunakan untuk menghasilkan ide-ide kreatif atau bahkan menyusun esai, siswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan imajinasi dan pemikiran inovatif mereka sendiri.
3. Kemalasan Akademik
Dengan AI yang siap membantu dalam hitungan detik, godaan untuk tidak berusaha memahami materi secara mendalam semakin besar.
Siswa mungkin akan lebih memilih untuk menyalin jawaban yang diberikan oleh AI daripada berusaha menyelesaikan tugas secara mandiri.
4. Ketergantungan Teknologi yang Berlebihan
Ketika teknologi menjadi satu-satunya alat belajar, risiko ketergantungan meningkat.
Hal ini akan menjadi masalah besar jika suatu saat AI mengalami gangguan atau tidak tersedia, karena siswa akan kesulitan untuk beradaptasi kembali dengan metode pembelajaran manual.
Sebagai perbandingan, Swedia—salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia—baru-baru ini mengambil langkah berlawanan dengan Indonesia.
Setelah lebih dari satu dekade menerapkan digitalisasi dalam pendidikan, Swedia memutuskan untuk kembali ke metode pembelajaran manual, seperti menulis tangan dan menggunakan buku cetak.
Langkah ini diambil setelah beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan perangkat digital secara berlebihan justru menurunkan kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis siswa.
Para ahli pendidikan di Swedia menemukan bahwa siswa yang terlalu banyak mengandalkan teknologi memiliki kesulitan dalam memahami teks secara mendalam dan cenderung mengalami penurunan konsentrasi.
Pemerintah Swedia bahkan mengalokasikan anggaran sebesar 104 juta euro untuk menyediakan buku cetak bagi setiap siswa di sekolah, dengan tujuan mengembalikan fokus pada pembelajaran berbasis teks daripada layar digital.
Meskipun AI menawarkan banyak manfaat dalam dunia pendidikan, Indonesia perlu mempertimbangkan langkah-langkah yang seimbang dalam mengintegrasikan teknologi ini ke dalam sistem pembelajaran.
Jika Swedia, dengan sistem pendidikan yang jauh lebih maju, justru kembali ke metode manual, maka Indonesia perlu lebih berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Gibran mungkin memiliki visi yang baik dalam membawa Indonesia menuju era digital yang lebih maju, tetapi tanpa strategi yang tepat, integrasi AI dalam pendidikan bisa lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.
Swedia telah menunjukkan bahwa digitalisasi yang berlebihan dapat menurunkan kualitas pembelajaran, dan Indonesia sebaiknya belajar dari pengalaman tersebut.
Inovasi memang penting, tetapi apakah Indonesia siap menghadapi konsekuensi dari digitalisasi pendidikan yang berlebihan?
Jangan sampai ambisi untuk maju justru membuat generasi muda kehilangan kemampuan berpikir yang sesungguhnya.
👇👇
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Misteri Kematian Diplomat Kemenlu Sedikit Terungkap, Polisi Curigai Pria Bersarung Tanpa Baju
Khamenei Peringatkan AS: Serangan ke Pangkalan Militer Al-Udeid di Qatar Bisa Terulang
Jika Jokowi Mati, Gibran Dibantai Republik
[UPDATE] Rekaman CCTV Ungkap Fakta Baru Kematian Diplomat Kemlu: Penjaga Kos Sempat Bolak-Balik & Mengintip Kamar Korban