GELORA.ME - Program hilirisasi nikel yang selama ini menjadi andalan pemerintah mendapat sorotan tajam.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, membongkar habis berbagai persoalan di balik janji manis proyek strategis ini dalam podcast "Deddy Sitorus Official".
Menurutnya, hilirisasi nikel tidak hanya gagal menyejahterakan rakyat, tetapi juga menyimpan bom waktu lingkungan dan terancam menjadi investasi sia-sia.
Diskusi panas ini mengungkap bagaimana program yang digadang-gadang mampu mendongkrak ekonomi nasional justru menyimpan banyak kejanggalan.
Mulai dari dugaan ekspor ilegal hingga dampak ekologis yang membahayakan masa depan.
Janji Manis Hilirisasi yang Berujung Miris
Kritik paling keras dari Bivitri Susanti ditujukan pada narasi keberhasilan hilirisasi nikel.
Ia secara blak-blakan menyebut bahwa manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pihak, bukan masyarakat luas.
Bahkan, ia menyinggung adanya praktik lancung di balik proyek ini.
"Hilirisasi nikel yang dibanggakan ternyata diekspor ilegal dan kini mengalami oversupply," ungkap Bivitri.
Fakta ini menampar klaim pemerintah bahwa hilirisasi akan memberikan nilai tambah maksimal di dalam negeri.
Ia juga mengkritik bahwa hilirisasi yang terjadi lebih menguntungkan segelintir orang yang memiliki perusahaan, bukan rakyat.
Lebih jauh, Bivitri menyoroti ancaman usangnya investasi nikel yang masif ini.
Kemunculan teknologi baterai baru yang tidak lagi bergantung pada nikel bisa membuat miliaran dolar yang digelontorkan untuk membangun smelter menjadi sia-sia.
Hal ini menjadi pertanyaan besar terhadap visi jangka panjang pemerintah.
Ancaman Lingkungan di Balik Mobil Listrik
Gagasan bahwa hilirisasi nikel mendukung transisi energi hijau melalui mobil listrik juga tak luput dari kritik.
Bivitri mempertanyakan klaim ramah lingkungan dari kendaraan listrik jika sumber energinya masih berasal dari energi kotor dan proses penambangan nikel itu sendiri merusak alam secara masif.
"Penggunaan mobil listrik dikritik karena sumber energinya masih dari fosil dan baterainya sulit diurai, berpotensi menjadi sampah berbahaya," paparnya.
Ini menjadi ironi, di mana solusi untuk mengurangi emisi karbon justru menciptakan masalah lingkungan baru yang tak kalah serius, yakni limbah baterai beracun dan kerusakan ekosistem akibat penambangan.
Pola yang Sama: Ketidakadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Masalah dalam hilirisasi nikel, menurut Bivitri, bukanlah anomali, melainkan bagian dari pola yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Ia mencontohkan polemik tambang di Raja Ampat sebagai bukti adanya masalah sistemik.
"Pembatalan izin tambang oleh Prabowo diapresiasi, namun diingatkan bahwa banyak izin tambang yang dimatikan lalu hidup lagi," ujar Bivitri.
Ia menegaskan, ini adalah cerminan dari lemahnya penegakan hukum dan kuatnya relasi bisnis di lingkar kekuasaan.
"Perlu pembongkaran cara pemberian izin dan relasi bisnis di baliknya," tegasnya.
Ketidakadilan ini, lanjutnya, menjadi penyebab utama kemiskinan di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.
"Kekayaan alam Indonesia sangat besar, namun banyak rakyat miskin karena yang menikmati hanya segelintir orang," katanya.
Hak-hak masyarakat adat pun kerap menjadi korban.
"Masyarakat adat seringkali dipinggirkan dan tanahnya diambil karena dianggap tidak memiliki sertifikat, padahal negara seharusnya menguasai tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Borok Hilirisasi Nikel: Dari Ekspor Ilegal hingga Ancaman Sampah B3
Salah satu program andalan pemerintah, hilirisasi nikel, tidak luput dari kritik tajam Bivitri.
Alih-alih mendatangkan kemakmuran merata, ia mengungkap fakta mengejutkan di lapangan.
"Hilirisasi nikel yang dibanggakan ternyata diekspor ilegal dan kini mengalami oversupply," ungkap Bivitri.
Kondisi ini diperparah dengan perkembangan teknologi global yang bisa membuat investasi triliunan rupiah pada nikel menjadi sia-sia.
Bivitri menyoroti munculnya teknologi baterai baru yang tidak lagi bergantung pada nikel, sebuah disrupsi yang dapat memukul telak industri nikel nasional di masa depan.
Lebih dari itu, ia mengkritik keras distribusi keuntungan dari program ini.
Menurutnya, kue ekonomi dari hilirisasi hanya dinikmati oleh segelintir elite.
"Hilirisasi yang terjadi lebih menguntungkan segelintir orang yang memiliki perusahaan, bukan rakyat," tegasnya.
Aspek lingkungan juga menjadi sorotan utama.
Narasi mobil listrik sebagai solusi ramah lingkungan dimentahkan oleh Bivitri.
Ia memaparkan sisi gelap dari transisi energi ini, di mana sumber listriknya masih bergantung pada batu bara dan limbah baterainya menjadi ancaman baru.
"Penggunaan mobil listrik dikritik karena sumber energinya masih dari fosil dan baterainya sulit diurai, berpotensi menjadi sampah berbahaya," paparnya.
Lingkaran Setan Izin Tambang dan Ketidakadilan
Masalah nikel hanyalah puncak dari gunung es persoalan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Bivitri juga menyoroti carut-marut perizinan tambang secara umum.
Meskipun langkah Prabowo membatalkan izin tambang di Raja Ampat diapresiasi, ia mengingatkan bahwa ini bukan solusi permanen.
"Pembatalan izin tambang oleh Prabowo diapresiasi, namun diingatkan bahwa banyak izin tambang yang dimatikan lalu hidup lagi," ujar Bivitri. Ia mendesak adanya audit menyeluruh terhadap sistem perizinan. "Perlu pembongkaran cara pemberian izin dan relasi bisnis di baliknya," tegasnya.
Ironisnya, kekayaan alam yang melimpah gagal menyejahterakan rakyatnya.
"Kekayaan alam Indonesia sangat besar, namun banyak rakyat miskin karena yang menikmati hanya segelintir orang," katanya, menunjuk fenomena daerah kaya SDA yang justru terperosok dalam kemiskinan.
Hak masyarakat adat pun kerap menjadi korban.
"Masyarakat adat seringkali dipinggirkan dan tanahnya diambil karena dianggap tidak memiliki sertifikat, padahal negara seharusnyaivitri menilai, karut-marut ini diperparah oleh warisan kebijakan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang disusun tergesa-gesa dan minim partisipasi publik."
Ia juga menyoroti penempatan individu yang terafiliasi dengan korporasi besar di kementerian strategis terkait SDA.
Untuk itu, harapan besar disematkan pada pemerintahan baru.
Bivitri menekankan perlunya audit menyeluruh terhadap sumber daya alam untuk memetakan potensi, batas eksploitasi, dan dampak lingkungannya.
Yang terpenting, pemerintah harus menunjukkan keberpihakan yang jelas kepada rakyat dan kelestarian lingkungan dalam setiap kebijakan yang diambil.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
[UPDATE] Permohonan Jokowi Diterima, PN Solo Putuskan Tak Berwenang Adili Gugatan: Jokowi Batal Buktikan Ijazah di Pengadilan!
Selamat! Ketua GP Ansor Tommy Darmadi Jadi Komisaris Anak Usaha PLN
Terlalu Rapi, Ini Janggal: Kriminolog Curiga Kematian Diplomat Kemlu, Ada Rekayasa?
Sikap Ahmad Khozinudin dan Faisal Sallatalohy Bukti HTI Bubar tapi Ideologinya Masih Hidup