Membincangkan soal kemunafikan dalam politik, bukan hanya Thomas Hobbes yang konsen untuk mengangkat tema tentang kemunafikan dalam politik, tetapi juga ada beberapa novelis, penulis naskah yang juga berkontribusi memberikan pandangan walau dengan cara yang berbeda. Tetapi Hobbes menyodorkan tiga karya yang monumental terkait diskursus kemunafikan dalam politik yakni ; De Cive (1642), Leviathan (1651), dan Behemoth (1682) ketiga karya Hobbes ini memandang kemunafikan dalam politik sebagai sesuatu yang penting untuk diangkat, dan menginginkan perluanya ketulusan di sisi penguasa. Dalam Behemoth, Hobbes terobsesi tentang kemunafikan yang dianggap sudah menjalar ke mana-mana, dan menganggapnya sebagai kebodohan ganda dan lebih ekstrim lagi ia meganggap sebagai malapetaka yang mengkhwatirkan.
Dalam banyak kasus politik di salah satu rezim, kemunafikan seringkali dipertontonkan sebagimana tabiat Oliver Cromwell yang diseringkali diulang oleh David Hume (1640-1660) sebagai generasi setelah Hobbes yang berjudul “History of England” yakni tabiat Oliver yang tahu malu, sebab kebohongan seringkali diualng-ulang dalam setia saat. Karena itu kemunafikan menjadi diskursus penting bagi para filsuf sebagai jalan untuk menemukan keadilan. Filsuf Inggris Francis Bacon mengungkapkan “kebijaksanaan adalah keseimbangan yang benar, antara kejujuran dan penipuan, sehingga reputasi seseorang untuk kejujuran dan kemampuan mereka untuk keduanya dipertahankan” bahwa dalam politik praktis kejujuran selalu dipertanyakan, tetapi kemunafikan selalu dianggap jujur.
Sehingga politisi sering kali tidak percaya pada ucapan mereka sendiri. Mereka bahkan terkejut ketika rakyat mempercayainya. Sepertinya, Charles de Gaulle tidak berlebihan saat mengucapkan kalimat ini. Rasa-rasanya, apa yang diucapkan oleh para politikus hampir tidak bisa dipegang. Setiap kalimat yang diucapkan seringkali berakhir dengan kebalikannya. Demikian pula, ketika sesuatu yang tidak diucapkan atau tidak diinginkan, itulah yang kemudian dilakukan.
Nikita Kruschev pernah mengungkapkan satu kalimat menarik “semua politisi sama, berjanji untuk membangun jembatan tetapi di situ tidak ada sungai”---frase ini memberikan tafsiran kalau seorang politisi kerap menjadikan panggung dan mibar untuk menebar janji ketimbang memabur kecerdasan rakyat untuk membangun demokrasi yang lebih baik. Sehingga pasca proses politik berlangsung, maka janji itu pun dilupakan bahkan nyaris seolah-oleh ingat tetapi senagaj dilupakan.
Terlihat dengan jelas karakter, perilaku dan watak inkonsisten ini persis seperti yang dipamerkan oleh elite-elite politik saat ini. Contohnya adalah penggelontoran bantuan sosial (bansos) yang dilakukan oleh Joko Widodo saat itu (menjelang pemilu). Presiden Joko Widodo mengeluarkan program bantuan sosial berupa beras dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberi nama BLT Mitigasi Risiko Pangan. Bansos ini bahkan banyak diantaranya dikeluarkan menjelang Pemilu 2024 dengan alasan untuk memitigasi kenaikan harga pangan. Padahal itu semua dilakukan untuk menanam benih kepentingan politik dalam jangka pendek yakni seperti pelaksanaan pemilihan umum. Bagi masyarakat yang apatis, denagntingkat ekonomi yang pas-pasan tentu akan menrimanya dengan senang hati, bahkan diupayakan si penerima bansos tersebut di video kan dengan narasi terima kasih pak Jokowi. Narasi tersebut sebagai bentuk legacy pada seseorang bukan pada jabatan ia sebagai presiden.
Dengan membaca catatan Kementerian Keuangan selama 10 tahun kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan anggaran mencapai 4.161,2 triliun rupiah. Dari total anggaran APBN untuk perlindungan sosial tersebut, 469,8 triliun di antaranya dikeluarkan menjelang pemilu tahun ini. Namun pernyataan Menteri Sosial Risma mengatakan kalau yang tersosialisasi hanya sebesar 76 Trilyun. Siapa sangka, angka fantastis seperti itu dikeluarkan oleh seorang pemimpin yang sempat menyatakan bahwa bantuan sosial merupakan langkah yang kurang mendidik bagi masyarakat. Bukan hanya tidak mendidik masyarakat tetapi juga sekaligus menciptakan karakter masyarakat yang tidak produktif dan cendrung bermalas-malasan. Ada semacam pameo klasik yang mengatakan kalau kemiskinan, kelaparan begitu mudah ditukar dengan bansos, walau itu semua dibungkus dengan motif politik.
Selain menyebut pemberian bantuan sosial sebagai langkah yang kurang tepat, ia bahkan menyebut BLSM dengan nada plesetan “balsem” saat berada di Balai Kota DKI Jakarta, pada Senin, 17 Juni 2013. Ketidakkonsistenan Jokowi berlanjut setelah itu, ketika Gibran Rakabuming Raka telah menjadi Walikota Solo. Jokowi juga menyampaikan bahwa Gibran baru menjabat selama 2 tahun, sehingga tidak logis jika ada pertanyaan yang menyinggung wacana bersatunya Gibran dan Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2024. Bahkan dilain waktu kalau anak-anaknya tidak tertarik asuk di arena politik, tetapi faktanya Gibran di dapuk melalui putusan kontroversi di MK untuk meloloskan batas umur seorang calon wakil presiden, dan begitu pula Kaesang Pangarep (anak bungsu Jokowi) yang baru terdaftar dua hari di PSI, kemudian di dapuk menjadi ketua umum Partai yang berlambang bunga mawar itu.
Semua ucapan itu berubah di luar dugaan ketika panggung politik menampilkan manuver hebat yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Penerobosan itu bahkan dilakukan secara terang-terangan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ketuanya merupakan ipar dari Jokowi sendiri dan paman dari sang Putra Mahkota. Sebelum suara protes yang masif itu sampai ke istana, bansos dan narasi dominan lebih dulu sampai ke masyarakat. Mereka yang tidak setuju menganggap Joko Widodo sebagai sosok serakah yang antagonis, sedangkan mereka yang lain melihatnya sebagai sosok pahlawan yang protagonis. Pada akhirnya Jokowi terseret pada dua karakter yakni antagonis sekaligus protagonis sebagaimana pandangan Chantall Mouffe tentang perilaku seseorang dalam politik yang bisa berbentuk citra dan fantasi.
Herbert Marcuse (1898-1979) seorang filsuf Jerman-Yahudi teoritikus politik dan sosiologi, serta anggota Frankfurt School yang dikenal sebagai “bapak kiri baru” yang memberi pengaruh pada gerakan mahasiswa tahun 1960-an. Karyanya yang terkenal adalah “Eros and Civilization, One Dimensional Man, serta The Aesthetic Diemension.” Bagi Marcuse dalam karya One Dimensional man, bahwa manusia memiliki kecendrungan memainkan dua peran sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan, hasrat, keinginan serta tujuan politiknya. Artinya seseorang bisa berperan ganda; kejujuran dan kemunafikan, ketulusan dan kepura-puraan. Dan perilaku ini seringkali kita jumpai di ranah politik terutama pada diri seorang politikus. Bagi Hannah Arendt, sulit menemukan autentik seorang politisi dengan kepolosan, kesederhanaan, kejujuran, ketulusan, sebab watak itu dikemas dalam motif politik dengan frase sederhana “siapa, apa dan mendapat apa.”
Dalam sebuah reportase klasik dalam karya Judith Shklar yang berjudul “Ordinary Vices (1984) dalam buku tersebut Shklar memperjelas permasalahannya dengan menyusun peringkat sifat buruk menurut ancaman yang mereka tunjukkan pada masyarakat liberal. Sifat buruk yang muncul dan paling jahat di antara semuanya, sejauh ini adalah sifat kejam. Oleh karena sifat-sifat buruk lainnya menurut Shklar tidak begitu buruk tetapi yang paling terburuk adalah kemunafikan. Sehingga Shklar mengajak masyarakat liberal untuk terus-menerus mengkhwatirkan kemunafikan.
Bagi Shklar, setidaknya ada dua alasan yang kuat tentang kemunafikan dalam politik. Pertama,sangat mudah rasanya menunjukkan rasa tidak suka kepada kemunafikan—pada tingkatan dasar manusia, ada sesuatu yang menjijikkan tentang kemunafikan, karena tidak ada seorang pun yang senang dipermainkan sebagai orang bodoh oleh kekuasaan. Kedua, siapa yang menunjukkan rasa tidak suka dengan kemunafikan, akan sangat mudah ditemukan. Dan bagi siapa pun yang menempatkan kemunafikan pada posisi pertama, Shklar menuliskan “pertama di sini, mempunyai arti yang menempati peringkat terburuk dari sifat-sifat buruk yang ada)” ketakutan mereka diperkuat terutama mereka meihat kemunafikan ada di mana-mana; dan ini berarti mereka melihat kemunafikan juga ada di mana-mana dalam dunia politik.
Masyarakat liberal terlanjur memilih menjadi masyarakat demokratis, sehingga kemunafikan menjadi sesuatu yang sulit dihindari dalam kehidupan politik kontemporer. Akan tetapi bagi Shklar, sulit rasanya menemukan garis pemutus untuk menghentikan kemunafikan dalam politik, dan usaha itu tidak mudah. Bahwa kemudian ada pameo “Dunia yang kita tempati adalah dunia yang secara moral pliralis, yaitu kemunafikan dan anti kemunafikan bergabung membentuk sebuah sistem yang berlainan”.
Berbagai jenis kemunafikan dalam konteks politik modern kontemporer memberi isyarat yang panjang kalau kemunafikan sudah seperti tradisi yang terus-menerus dipelihara. Bagi Shklar, membahas kemunafikan tidak hanya dengan membaca pikiran Hegel, tetapi juga mengambil pijakan dari penulis naskah seperti Moliere, seseorang yang mengenalkan “Tartuffery” atau (kesalehan orang munafik), juga seorang novelis (termasuk Hawthorne dan Dickens) atas wawasan mereka terhadap tarian kemunafikan dan anti kemunafikan yang demikian rumit, yakni serangkaian pemakaian dan pelepasan topeng yeng memebntuk eksistensi sosial kita. Sekalipu, penulis liberal seperti Ruth Grants yang berjudul “Hypocrisy and Integrity (1997) yang mengapresiasi perlunya kemunafikan dalam politik untuk diperselisihkan, dengan alasan demokrasi liberal bukan tempat yang tepat untuk menemukan pencarian tentang kemunafikan dalam politik dan kekuasaan. Sekalipun Grants juga dianggap gagal memahami teori liberal yang menjadikan kemunafikan masuk akal.
David Runciman seorang Professor Politik Cambridge University (2010), dalam bukunya “Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond”, menjelaskan bahwa realitas politik seperti itu merupakan bagian dari fenomena politik berwajah dua. Integritas dan inkonsistensi menjadi dua hal yang saling berseberangan. Seperti karya Herebrt Marcuse “One Dimensional Man” justru meliagt ada peran ganda dari seseorang dalam lakon politiknya. Mungkin ekstrimnya disebut sebagai politik yang berwajah ganda.
Dalam mitologi Romawi Kuno. Kita kenal Dewa Janus merupakan seorang Raja dari Latium, yakni salah satu wilayah di Italia tengah. Caillan Davenport (2018) dalam sebuah artikel di The Conversation menjelaskan Janus sebagai sosok dewa berjanggut dengan dua wajah yang saling menghadap pada dua arah yang berbeda. Satu wajahnya untuk melihat masa lalu dan satunya lagi untuk melihat masa depan. Dewa ini juga dipercaya memegang kunci dan tongkat yang digunakan untuk memandu para peziarah dan membuka kunci gerbang. Dia juga merupakan kebanggaan orang Romawi Kuno.
Mitologi Dewa Janus tidak hanya ditemukan dalam cerita-cerita Romawi Kuno dalam konteks histories, tetapi pada dunia realitas saat ini, ia bisa ditemukan dalam wajah elite politik kita. Persis pada kepemimpinan rezim saat ini, kepala yang menghadap ke depan adalah sosok merakyat dengan intonasi nada yang lembut saat berbicara. Sedangkan, kepala yang menghadap ke belakang menyembunyikan ambisi dan keserakahan. Menanmkan dominasi, hegemoni dan teror pada publik agar tetap terpercaya, sebagaimana ungkapan Jean Baudrilard dalam bukunya “The Agony of power” nya.
Sehingga persepsi publik dalam melihat dua wajah yang saling membelakangi ini membuat publik melihat dari dua sisi yang berbeda pula. Pada perbedaan sudut pandang inilah kepalsuan, inkonsistensi, dan kemunafikan menyatu dalam satu tubuh politik yang sama. Dengan tongkat dan kunci yang mensimbolkan bahwa dialah sang penuntun dan keputusan mutlak hampir tergantung padanya. Dan rupanya, seperti itulah yang dimainkan oleh elite-elite politik, termasuk 10 tahun terakhir kepemimpinan rezim Jokowi. Bahkan hengkangnya para aktivis politik yang dianggap memiliki idealisme kuat, justru memilih jalan bergabung kepada kekuasaan yang selama ini ia kritisi. Perpindahan agncy politik menjadi indikasi yang membenarkan kalau dalam politik itu tidak ada “kesetiaan yang abadi” tetapi kemunafikan yang berbalut kesalehan sosial.
Bahkan seorang John Morley dalam ungkapannya menunjukkan keprihatinannya tentang kemenangan semangat politik, yang ia definisikan sebagai pengabaian prinsip-prinsip dan kesediaan politisi dari semua kalangan untuk menyamar dan berkompromi atas nama partai (Runciman, 2008). Panggung politik itu penuh dengan wajah kemunafikan. Partai politik dan para aktor-aktornya hanya menunggu waktu dengan bersembunyi di balik jargon-jargon atas nama idealisme dan moralitas. Berteriak atas nama moral dan etika ketika tidak berada dalam kekuasaan. Namun setelah ia berada dalam kekuasaan ia tidak sadar kalau kemarin ia mengkritik kekuasaan dan hari ini ia memujanya karena posisi sudah di dapatkannya.
Dan lakon politik saat ini sebagai penanda bahwa kemunafikan dalam politik dengan wajah ganda adalah wujud dari watak buruk dari elit dan kekuasaan yang secara terus menerus dipertontonkan di arena politik yang alih-alih demokratis, padahal itu dusta yang bertopengkan kemunafikan. ***
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Openulis Buku, Kritikus Sosial Politk dan penggiat Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Israel Tembak Kerumunan Warga Gaza yang Mengantre Bantuan Makanan: 10 Tewas, Puluhan Luka
Cara Pakai Veo 3, Model AI Google yang Bisa Membuat Video Lewat Perintah Teks, Realistis Parah!
Golkar Pesimis Pemerintah Mampu Gratiskan SD-SMP, Tak Sepakat Putusan MK
Ray Rangkuti: Jokowi Lebih Pilih Tawaran Ketum PPP Ketimbang PSI