Jangan Paksa Rakyat Percaya Jokowi, Jika Bukti Ijazah Saja Disembunyikan!

- Senin, 26 Mei 2025 | 14:15 WIB
Jangan Paksa Rakyat Percaya Jokowi, Jika Bukti Ijazah Saja Disembunyikan!


'Jangan Paksa Rakyat Percaya Jokowi, Jika Bukti Ijazah Saja Disembunyikan!'


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)


Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap membungkam ketika dimintakan memperlihatkan ijazah asli oleh para pengacara Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur di hadapan majelis hakim dan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Surakarta.


Penolakan serupa terjadi dalam proses mediasi perkara perdata di PN Jakarta Pusat pada 2023. 


Kuasa hukum para penggugat menawarkan jalan damai: perlihatkan ijazah asli, maka gugatan akan dicabut. Namun, Jokowi bersikukuh menolak. 


Bahkan pada mediasi terbaru di PN Surakarta—yang hingga kini masih bergulir—respon Jokowi tetap tak berubah: menutup diri dari transparansi.


Lebih lanjut, pada 16 April 2025 di kediamannya di Solo dan pada 21 Mei 2025 di Bareskrim Polri, Jokowi lagi-lagi menolak memperlihatkan ijazah asli dengan alasan hanya akan menunjukkannya jika pengadilan yang memerintahkan. 


Sebuah pernyataan yang ambigu sekaligus “ngeyelitas” karena pada kenyataannya, pengadilan sudah memberi ruang itu lewat mediasi.


Pernyataan Jokowi ini menyiratkan dua hal: pertama, bahwa dirinya tidak menyerahkan ijazah ke Bareskrim. 


Kedua, jika tidak ada ijazah asli, dari mana Bareskrim bisa menghasilkan analisis forensik digital dan menyimpulkan keasliannya?


Hukum Dibelokkan, Publik Dibodohi?


Dari asas teori kausalitas, tindakan Jokowi justru layak dinilai sebagai pencipta kegaduhan nasional. Ini bukan tuduhan, melainkan realitas.


Jokowi dengan sengaja melawan norma keterbukaan hukum (opzet), padahal berkali-kali diminta memperlihatkan ijazah oleh publik, termasuk TPUA. 


Namun, kepada 11 awak media ia mengaku sudah memperlihatkannya—sayangnya, tidak boleh difoto.


Apakah logika hukum seperti ini patut dijadikan contoh oleh seorang mantan Presiden RI?


Sebagai penyelenggara negara, Jokowi semestinya menjadi teladan dalam menaati Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). 


Apalagi dalam sistem hukum Indonesia yang menjunjung asas rechtsstaat (negara hukum), tidak ada satu pun warga negara, termasuk presiden, yang berada di atas hukum.


Mengacu pada Perma No. 1 Tahun 2016, setiap pengadilan wajib melakukan mediasi sebelum masuk ke pokok perkara. 


Maka tidak ada alasan sah bagi Jokowi untuk menolak memperlihatkan ijazah pada tahap tersebut.


Bareskrim dan Kejanggalan Penyelidikan


Masyarakat hukum mencatat keanehan luar biasa dalam penyelidikan Bareskrim atas laporan TPUA tanggal 9 Desember 2024. 


Kesimpulan bahwa ijazah Jokowi “asli karena identik dengan yang asli” tidak masuk akal secara hukum.


Jika benar ada hasil forensik, maka publik berhak tahu:


Kapan analisis dilakukan?

Siapa petugas forensiknya?

Mana hasil uji lab lengkap dan metode yang digunakan?

Kenapa dilakukan secara diam-diam?


Sebagai institusi negara, Polri terikat prinsip keterbukaan publik, imparsialitas, dan asas good governance sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN.


Sementara itu, isu yang beredar menyebut Jokowi memang pernah kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, tetapi diduga tidak lulus alias DO. 


Jika benar, maka gelar insinyur yang disandangnya adalah tidak sah, dan mustahil ia memiliki ijazah asli.


Mengapa Harus Diulang dan Dibuka Ulang


Maka demi supremasi hukum dan integritas negara, Bareskrim wajib membuka kembali penyelidikan, kali ini secara terbuka dan akuntabel. 


Termasuk memanggil dua pakar IT bersertifikat yang menganalisis dan menyatakan dengan yakin bahwa “Ijazah Jokowi adalah palsu.”


Jika negara ini masih menjunjung akal sehat dan keadilan, analisis kedua pakar tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja. 


Apalagi mereka menyatakan dengan keyakinan 100 persen bahwa ijazah tersebut palsu.


Jika tidak, maka tak ada alasan logis dan moral untuk memaksa rakyat percaya hasil investigasi Bareskrim yang tertutup dan janggal. 


Terlebih lagi, sang pemilik ijazah adalah tokoh dengan catatan panjang kebohongan publik, hingga dijuluki The King of Lip Service.


Penutup


Negara ini adalah negara hukum, bukan negara perasaan. Maka jangan paksa rakyat bangsa ini percaya pada narasi yang dibangun tanpa bukti dan transparansi. 


Ijazah adalah dokumen formal, bukan dogma sakral yang harus disembunyikan.


Jika negara diam, maka kebenaran akan bersuara sendiri. Dan ketika itu terjadi, kepercayaan publik tak akan pernah bisa direkonstruksi lagi. ***

Komentar