GELORA.ME - Di tengah semarak persiapan Hari Kebangkitan Nasional yang harusnya jadi panggung persatuan, negeri ini kembali dipecah oleh selembar kertas tua berjudul Ijazah Sarjana Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Dokumen milik Presiden Joko Widodo itu kembali jadi pusat polemik, setelah Bareskrim Polri menyatakan keasliannya lewat uji laboratorium forensik.
Namun, tidak semua pihak mengangguk setuju. Roy Suryo, mantan Menpora sekaligus pakar telematika yang sejak awal konsisten menyangsikan keabsahan dokumen tersebut, justru semakin gencar menyuarakan keraguan.
Baginya, keputusan Mabes Polri tak ubahnya vonis sepihak yang belum menyentuh substansi masalah.
“Mostly pendapat publik malah jadi meragukan hasil tersebut dan menjatuhkan citra Mabes Polri, apalagi ijazah aslinya juga tidak ditunjukkan,” kata Roy kepada Kompas.com, Jumat (23/5).
Ijazah, Identik, tapi Bukan Otentik?
Masalah bermula dari pengakuan Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, yang dalam konferensi pers menyatakan bahwa ijazah milik Jokowi telah identik dan otentik dibandingkan dengan tiga ijazah pembanding dari rekan seangkatannya di UGM.
Disebutkan pula bahwa elemen kertas, map penyimpanan, hingga jenis tulisan yang tercetak dinilai serupa.
Tapi Roy menilai proses ini prematur dan tak komprehensif.
“Hasil Puslabfor Mabes Polri ini belum final. Hanya merupakan satu bagian proses pembuktian dan tidak merupakan hasil otentik. Hanya identik,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa identifikasi yang tidak transparan mengenai sumber sampel dan metode verifikasi justru mengaburkan kebenaran.
Kata “identik”, dalam pandangan Roy, bukanlah jaminan keaslian. Sama seperti dua lukisan yang serupa belum tentu dilukis oleh pelukis yang sama, dua ijazah yang identik belum tentu lahir dari proses akademik yang sah.
Ijazah yang Tak Pernah Ditunjukkan
Poin paling krusial yang disoroti Roy bukan soal kesamaan kertas atau tulisan, melainkan absennya bukti utama: ijazah asli milik Presiden.
Dalam dunia forensik, barang bukti primer adalah pangkal dari seluruh proses pembuktian.
Tapi dalam kasus ini, publik hanya disodori salinan fotokopi yang ditampilkan lewat layar presentasi.
Apakah pantas keputusan besar seperti ini berdiri di atas proyeksi digital?
Roy tidak sendiri. Di media sosial, suara-suara skeptis ramai bergema, mempertanyakan mengapa ijazah seorang kepala negara harus diselubungi begitu banyak kabut.
Sementara bagi banyak orang, urusan ijazah adalah hal sepele, untuk Presiden Republik Indonesia, ini bukan sekadar dokumen pendidikan—ini adalah simbol legitimasi dan integritas.
Antara Ilmu, Kekuasaan, dan Kepercayaan Publik
Kecurigaan yang diutarakan Roy memang bukan perkara teknis semata, tetapi mencerminkan krisis kepercayaan yang lebih besar terhadap institusi negara.
Mabes Polri, yang seharusnya menjadi garda terakhir dalam menjaga objektivitas hukum, justru dinilai mengambil posisi terlalu cepat.
Dalam demokrasi, transparansi bukan hanya soal membuka data, tapi juga soal membuka ruang dialog. Dalam kasus ini, suara kritis seperti Roy Suryo tak seharusnya dibungkam, tapi dijadikan masukan demi proses hukum yang benar-benar tuntas dan menyeluruh.
Sebab pada akhirnya, bukan hanya nasib selembar ijazah yang dipertaruhkan, tapi kredibilitas seluruh sistem hukum dan pemerintahan.
“Kenapa bukan UGM yang langsung menyatakan keaslian ijazah itu?”
Pertanyaan ini mungkin tak terucap resmi, tapi bergema di kepala banyak rakyat yang belum juga mendapat jawaban memuaskan.
Epilog: Kebenaran Tak Bisa Didikte
Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebenaran tidak lahir dari konferensi pers. Ia tumbuh dari proses yang jujur, terbuka, dan dapat diuji secara independen.
Roy Suryo mungkin bukan malaikat, tapi keberaniannya mempertanyakan apa yang dianggap final oleh otoritas harus dibaca sebagai alarm: bahwa rakyat masih punya nalar, dan kebenaran tak bisa didikte dari podium kekuasaan.
Ijazah Jokowi mungkin sah menurut Bareskrim, tapi publik belum tentu merasa puas.
Karena di balik lembaran itu, ada pertanyaan yang lebih besar: apakah kejujuran masih menjadi nilai utama dalam republik ini?
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Baru Jabat 7 Bulan, Pujian Gibran Wapres Terbaik Terlalu Dini
Rismon Sianipar Sebut Identik Bukan Otentik, Roy Suryo Tertawa Dengar Penjelasan Bareskrim
Ijazah Simalakama dan Stigma Pembohong
VIRAL Kesaksian Dokter Spesialis di MK: Saya Dipecat Karena Menkes Tersinggung Tulisan Saya