Polri dan Kejaksaan Belum Bergeser dari Pola Lama: 'Bungkam Suara Kritis!'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Hanya ada satu cara: bungkam!
Mungkin demikianlah pola Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
Dua institusi penegak hukum ini sepertinya punya pola sama: membungkam mereka yang bersuara kritis terhadap penguasa. Mereka belum bergeser dari pola lama.
Lihat saja. Zaenal Mustofa, salah satu pengacara dari tim Tolak Ijazah Palsu Usaha Gakpunya Malu (TIPU UGM) yang melaporkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atas dugaan ijazah palsu, telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen oleh Polres Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kasus ini sudah lama dilaporkan atau sebelum Pemilu 2024. Namun baru sekarang prosesnya berlangsung kencang.
Polisi berdalih, Zaenal Mustofa maju sebagai calon anggota legislatif, sehingga sesuai arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, penanganan kasusnya ditunda hingga usai pemilu.
Sementara itu, Kejagung membuka peluang untuk memanggil dan memeriksa sejumlah pakar serta narasumber yang pandangannya digunakan oleh Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar (TB) untuk membuat konten bermuatan negatif demi merintangi proses penyidikan atau obstruction of justice.
Beberapa orang yang diduga pernah menjadi narasumber TB adalah pakar hukum pidana Prof Dr Jamin Ginting, dan Koordinator Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) Ronald Loblobly.
Jamin Ginting dan Ronald Loblobly selama ini suka bersuara kritis terhadap penguasa, baik saat pemerintahan Jokowi maupun kini saat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Padahal, penetapan TB sebagai tersangka perintangan penyidikan kasus korupsi izin impor minyak goreng, PT Timah dan impor gula itu sendiri sarat kontroversi.
Kejagung mengangkangi Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Bagaimana bisa sebuah berita, walaupun isinya negatif dan memojokkan Kejagung, yang merupakan produk jurnalistik dijadikan dasar untuk menetapkan TB sebagai tersangka perintangan penyidikan? Bukankah di dalam jurnalistik ada pameo, “the bad news is good news”?
Mestinya sebelum menetapkan TB sebagai tersangka, Kejagung terlebih dulu berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Dewan Pers, karena institusi inilah yang berhak menilai sebuah berita dan wartawannya melanggar kode etik atau tidak. Kejagung tak berhak menilai isi sebuah berita.
Pun, mestinya Kejagung menggunakan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum menetapkan TB sebagai tersangka.
Sebab, UU Pers adalah lex specialis atau aturan khusus, sedangkan UU Tipikor merupakan aturan umum.
Ada adagium, lex specialis derogat legi generali. Aturan khusus mengesampingkan aturan umum.
Artikel Terkait
Hanya 0,5%! Cadangan Air Siap Pakai di IKN Minim, BRIN Pertanyakan Kesiapan Pindah Ibu Kota
Viral! Awal Mula Tautan Video 8 Hilda Pricillya Beredar, Jangan Asal Klik!
Listyo Sigit Naikkan Komjen Polri, Pengamat: Strategi Selamatkan Diri dan Keluarga Jokowi?
Kejaksaan Diduga Tak Serius Eksekusi Silvester Matutina, DE JURE: Saling Lempar Tanggung Jawab Antara Institusi