GELORA.ME - Istana Kepresidenan membantah tudingan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengintervensi dan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) 2017 silam.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan tak pernah ada pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Agus Rahardjo seperti yang diungkapkan oleh Ketua KPK Periode 2015-2019 itu.
Ari mengklaim telah memeriksa riwayat agenda pertemuan antara Jokowi dan Agus, sebagaimana disampaikan eks pimpinan lembaga antirasuah itu.
Menurut Ari, pertemuan seperti yang diceritakan Agus dalam wawancara di Kompas TV itu tidak ada dalam agenda atau tidak pernah terjadi.
"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," kata Ari, Jumat (1/12).
Ari meminta publik melihat kenyataan yang terjadi. Ia menyebut buktinya proses hukum terhadap Setnov terus berjalan dan sudah diproses dengan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.
Ia juga menekankan Presiden Jokowi pada 2017 lalu juga dengan tegas meminta agar Setnov mengikuti proses hukum di KPK.
"Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik," kata dia.
Di sisi lain, Ari juga menekankan bahwa Rancangan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang kemudian disahkan menjadi UU pada 17 September 2019 lalu itu merupakan beleid inisiatif legislatif dan bukan eksekutif.
"Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," ujar Ari.
Hal itu disampaikan Ari mengingat Agus menduga revisi UU KPK pada 2019 lalu terjadi lantaran penolakannya atas perintah presiden terkait penghentian kasus e-KTP itu. Agus sebelumnya mengungkapkan, saat itu memang sudah ada upaya menjadikan KPK sebagai alat kekuasaan.
Namun demikian upaya tersebut menurutnya tidak berhasil karena saat itu KPK masih independen dan tidak berada di bawah area eksekutif atau di bawah presiden.
Agus Rahardjo dalam wawancaranya dalam program Rosi di Kompas TV mengungkapkan dirinya pernah dipanggil dan diminta Presiden Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto atau Setnov.
Setnov kala itu menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.
Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan.
"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno [Menteri Sekretariat Negara]. Jadi, saya heran 'biasanya manggil [pimpinan KPK] berlima ini kok sendirian'. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12).
"Itu di sana begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," sambung Agus.
Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut.
"Saya bicara (ke Presiden) apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan], enggak mungkin saya memberhentikan itu," terang Agus.
Agus menegaskan hal tersebut sebagai sebuah kesaksian. Ia mengaku telah menceritakan kejadian dimaksud kepada koleganya di KPK.
"Saya bersaksi, itu memang terjadi yang sesungguhnya. Saya alami sendiri. Saya awalnya tidak cerita pada komisioner yang lain tapi setelah beberapa lama itu kemudian saya cerita," ucap dia.
Agus merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah. Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3.
"Kemudian karena tugas di KPK seperti itu ya makanya saya jalan terus. Tapi, akhirnya dilakukan revisi undang-undang yang intinya ada SP3, kemudian di bawah presiden, mungkin waktu itu presiden merasa ini Ketua KPK diperintah presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu," tutur Agus.
Kolega Agus yang merupakan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang mengaku pernah mendapat cerita tersebut dari Agus. Namun, ia lupa detailnya. "Sudah lama kan, dia [Agus Rahardjo] abis ketemu itu beberapa saat dia cerita. Yang ingat aku di lantai 15 [ruang kerja pimpinan KPK] sih. Tapi, aku lupa berapa lama setelah dia ngomong gitu," ujar Saut, Jumat (1/12).
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Senat AS Tolak Kebijakan Tarif Trump, Dukungan Lintas Partai Terbentuk
3 Oknum Polisi Penabrak Pejalan Kaki di Medan Ditahan di Patsus, Ini Kronologinya
Wakil Bupati Pidie Jaya Diduga Aniaya Kepala SPPG: Kronologi Lengkap & Respons BGN
IIF Perkuat Investasi Energi Terbarukan untuk Dukung Transisi Hijau & NZE 2060