Mengulas Sanksi RMK Energy, Aktivis Lingkungan: Ke Mana Penegak Hukum?

- Rabu, 01 November 2023 | 17:30 WIB
Mengulas Sanksi RMK Energy, Aktivis Lingkungan: Ke Mana Penegak Hukum?

b. membuat SOP dan sistem tanggap darurat pencemaran udara paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan


c. melakukan pemantauan mutu udara ambien setiap 6 (enam) bulan sekali dengan menggunakan laboratorium eksternal yang terakreditasi dan/atau teregistrasi paling lama 30 (tiga puluh) hari.


5. Pengendalian pencemaran air, berupa:


a. mengajukan dan memiliki SLO pembuangan air limbah ke Badan Air Permukaan kepada Direktorat Pengendalian Pencemaran Air KLHK paling lama 60 (enam puluh) hari


b. memperbaiki dan memiliki instalasi pengolahan air limbah yang sesuai dengan persetujuan teknis paling lama 60 (enam puluh) hari;


c. melakukan pemantauan air limbah domestik setiap bulan sekali dan melaporkan hasil pemantauan secara berkala kepada instansi lingkungan hidup paling lama 30 (tiga puluh) hari;


d. melakukan perbaikan dan optimalisasi kinerja instalasi pengolah air limbah sehingga air limbah yang akan dibuang memenuhi baku mutu paling lama 60 (enam puluh) hari;


e. memiliki unit pengolahan dan saluran air limbah yang kedap air paling lama 60 (enam puluh) hari;


f. memasang alat pemantauan kualitas air limbah secara terus menerus di dalam jaringan bagi usaha dan/atau kegiatan (SPARING) paling lama 60 (enam puluh) hari;


g. menghitung beban pencemaran air limbah dan menyampaikan hasil perhitungan kepada instansi lingkungan hidup paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan


h. memisahkan endapan lumpur dari instalasi IPAL dan kegiatan stockpile dan mengelola sesuai persetujuan lingkungan paling lama 60 (enam puluh) hari.


6. melakukan pengelolaan B3 dengan membuat laporan penggunaan bahan kinda secara berkala dan menyampaikan laporan kepada instansi lingkungan hidup paling lama 7 (tujuh) hari; dan


7. melakukan kewajiban pengelolaan Limbah B3 berupa:


a. mengidentifikasi limbah B3 yang dihasilkan dan memberikan kode sesuai dengan ketentuan paling lama 7 (tujuh) hari; dan


b. menempatkan drum kemasan limbah B3 sesuai ketentuan paling lama 1 (satu) hari.


Pada poin keempat, disebutkan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaporkan secara tertulis setiap penyelesaian pelaksanaan sanksi administratif paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada diktum ketiga kepada Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan tembusan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muara Enim.


Lalu, pada poin kelima ditegaskan, dalam hal sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam diktum ketiga dan diktum keempat tidak dilaksanakan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dikenakan pemberatan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Mempertanyakan Ketegasan Aparat Penegak Hukum


Sorotan terhadap sanksi ini muncul dari Ketua Kawali Sumsel, Chandra Anugerah yang selama ini konsisten mengawal dan mengadvokasi permasalahan lingkungan di Sumsel.


Membaca sanksi tersebut, menurutnya, selama ini sanksi hukum administrasi paksaan pemerintah memang yang paling banyak digunakan selain pencabutan izin usaha apabila tidak diindahkan.


Namun, menurutnya hal itu tidak menutup celah bagi perusahaan untuk dijerat pidana lingkungan hidup, yang kemudian menjadi domain aparat penegak hukum.


"Kepolisian punya kewenangan untuk menindaklanjuti temuan atau laporan masyarakat, melakukan penyelidikan bahkan menjerat korporasi perusak lingkungan ini dengan payung hukum yang sudah dimiliki," ungkap Chandra dikutip Kantor Berita RMOLSumsel, Rabu (1/11).


Sebagai contoh, kata Chandra, PT Musi Prima Coal yang juga beroperasi di kawasan Muara Enim lewat kontraktornya PT Lematang Coal Lestari sudah divonis oleh PN Muara Enim karena terbukti melanggar lingkungan pada Mei 2023 lalu.


Permasalahan lingkungan dalam operasional perusahaan tersebut, juga terjadi secara berulang, tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh RMKE, mencemari masyarakat dan lingkungan sekitar.


"Sanksi dari Kementerian LHK itu buktinya. Seiring peningkatan produksi, pelanggaran dan pencemaran ini akan semakin besar dan luas dampaknya. Makanya harus ada efek jera di luar itu (sanksi paksaan pemerintah). Lalu APH (Aparat Penegak Hukum) ini ke mana aja?" herannya.


Disampaikan Chandra lagi, Sumsel dianugerahi dengan sumber daya alam yang luar biasa, untuk dikelola dan dijaga dengan baik. Bukan hanya dikeruk dan dimanfaatkan dengan dalih investasi, yang justru merugikan masa depan dan kesejahteraan masyarakat.


Tanggung jawab untuk menjaga dan memastikan pengelolaan yang baik dalam kerangka keberlanjutan, menurut Chandra, bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat, aktivis lingkungan, dan media. Tetapi juga regulator dan APH, dalam hal ini Polda Sumsel.


Sehingga, kata Chandra lagi, wajar jika dalam kasus pelanggaran lingkungan ini, rapor merah diberikan kepada APH karena dinilainya tidak mampu memberikan kepastian hukum terhadap para perusak lingkungan yang sifatnya korporasi.


Bahkan lebih jauh, Chandra melihat beda perlakuan yang dilakukan oleh APH bagi pelanggar atau perusak lingkungan yang sifatnya individu ataupun korporasi.


"Tidak hanya RMK (Energy), kami menyoroti pula permasalahan Karhutla, yang nampak betul perbedaan penanganannya antara masyarakat dan korporasi," ketusnya.


"Jadi kami terpanggil untuk memberi rapor merah pada Polda Sumsel atas penanganan permasalahan lingkungan di Sumsel ini," demikian Chandra.


Sumber: RMOL

Halaman:

Komentar