Di sisi lain, lanjut Nyarwi, persoalannya nanti apakah Gibran mau memanfaatkan momen itu atau tidak. Sebab, itu merupakan hak dari seseorang untuk memilih pilihan politiknya masing-masing.
Jika nantinya Gibran memilih menjadi cawapres Prabowo Subianto, Nyarwi menilai hal itu akan menjadi catatan serius dari PDIP. Hal ini karena, selama ini Gibran merupakan kader PDIP yang diusung menjadi walikota Solo.
"Tentu di situ loyalitas Jokowi sebagai kader PDIP menjadi taruhan, apakah dalam Pilpres nanti akan mendukung Prabowo-Gibran karena yang maju dari keluarganya juga, atau kah tetap posisi pada PDIP.
Dan saya kira PDIP akan punya skenario yang berbeda untuk mengantisipasi kondisi seperti itu," bebernya. Nyarwi menambahkan, jika nantinya hal itu benar terjadi maka juga akan memunculkan sentimen negatif pada dinasti politik Jokowi.
Sejak menjadi presiden pada 2014, sudah dua kali keluarga Jokowi menjadi Wali Kota, yakni Gibran sebagai Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution Wali Kota Medan. "Belum lagi panggung spesial untuk Kaesang (sebagai Ketua PSI).
Orang kan kemudian nanya, apakah dari 2014, 2019, 2024 ini panggung politik hanya untuk keluarga Jokowi, orang kan nanya itu?," pungkasnya. Di samping itu, Pengamat Politik Indonesia, Rocky Gerung juga ikut berkomentar soal polemik batas usia Capres-Cawapres.
Dalam hal ini, Rocky Gerung menyindir Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pimpinan Kaesang Pangarep yang juga anak bungsu Presiden Jokowi yang mengajukan gugatan soal usia itu ke MK. “Kita mewakili kemarahan publik terhadap kemaksiatan di Mahkamah Konstitusi.
Kita menghendaki ada semacam etika,” ujar Rocky Gerung dalam sebuah rekaman suara kepada awak media, Rabu (11/10/2023).
“Meminta MK yang ketuanya pamannya—Anwar Usman—supaya Gibran dijadikan calon wakil presiden. Setelah itu melapor ke Presiden Jokowi yang adalah kakak ipar Ketua MK. Dari segi itu, itu super dinasti. MK sekarang adalah Mahkamah Keluarga,” sambungnya.
Menurut Rocky Gerung, gugatan usia capres-cawapres ini bukan hanya mempersoalkan masuk akal secara hukum tata negara saja atau tidak. “Ini tidak masuk akal secara etik dan public ethics itu yang sesungguhnya dilanggar MK berdasarkan kesepakatan dengan Jokowi.
Dua institusi ini, Presiden Jokowi dan MK, berkomplot untuk membatalkan dasar-dasar berdemokrasi,” kata dia.
Menurut Rocky Gerung, perkara ini merupakan kebijakan hukum terbuka yang seharusnya jadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Sumber: tvOne
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Tanggul Jebol di Pondok Kacang Prima Tangsel, 180 KK Terdampak Banjir
KPK Selidiki Dugaan Markup Proyek Kereta Cepat Whoosh: Fakta Terbaru!
Shell dan TotalEnergies Catat Penurunan Laba, Ini Penyebab dan Proyeksi Harga Minyak
Hujan Es Tangerang 2025: Penyebab, Dampak, dan Penjelasan BMKG