Bukan Dia yang Berubah, Kacamatamu yang Berganti Warna

- Rabu, 04 Oktober 2023 | 09:31 WIB
Bukan Dia yang Berubah, Kacamatamu yang Berganti Warna

Teori ladder of inference bisa dicontohkan seperti ini. Dalam dunia nyata, orang berasal dari etnis manapun memiliki sifat dan perilaku baik maupun buruk. Tiba-tiba ketika kita bertemu dengan seseorang dari etnis tertentu kita mulai memilah-milah kompleksitas sifat dan perilakunya. Data-data yang sudah kita seleksi ini kemudian kita beri makna. Misalnya, bahwa orang dengan etnis liyan adalah pelit dan semuanya diukur serba uang.


Dari sini, kita membuat asumsi tentang orang yang sedang kita hadapi dan menyimpulkan bahwa apapun yang dilakukan orang ini pasti motifnya uang. Kita meyakini bahwa tidak ada nilai-nilai kemanusiaan pada orang ini selain kalkulasi ekonomis untung rugi. Keyakinan ini menentukan bagaimana cara kita mengambil tindakan.


Pertanyaannya adalah bagaimana bisa begini cara rasio kita bekerja? Jawabannya adalah karena kita memiliki apa yang disebut sebagai bias kognitif. Bias kognitif atau prakondisi kognitif adalah suatu kondisi tertentu di alam bawah sadar yang karena alasan tertentu menyebabkan proses berpikir yang salah sehingga penyimpulannya juga salah.


Bias kognitif ini seperti kaca mata yang digunakan seseorang dapat melihat realitas. Gambaran dunia yang kita tangkap tergantung warna kaca mata kita. Bukan dunianya yang berubah menjadi gelap, tapi kacamata yang kita pakai berwarna hitam.


Salah satu dari bias kognitif itu adalah egocentic hypocrisy (kemunafikan egosentris). Egosentris jenis ini adalah kecenderungan untuk mengabaikan inkonsistensi antara perkataan dengan tindakan, antara standar di ruang publik dengan perilaku di ruang privat.


Egosentris jenis ini mengeram dalam kepentingan seseorang untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari hal-hal yang membahayakan dirinya. Orang dengan kepentingan tertentu cenderung melihat dunia dari kaca mata kepentingannya. Bisa jadi tidak disadari. Juga bisa disadari tapi ditekan ke dalam bawah sadar, karena ada jenis egosentrisme lain, yaitu egocentric blindness.


Egocentric blindness adalah kecenderungan untuk mengabaikan atau menolak data-data yang tidak mendukung pendapat kita. Misalnya, kita akan mengabaikan sebanyak apapun data kecerdasan seorang perempuan dan mengambil satu data perempuan bodoh. Ini karena kita telah meyakini bahwa perempuan adalah makhluk emosional, bukan rasional.


Adakah manusia yang bisa lolos dari kutukan bias kognitif ini? Jawabannya: Tidak. Bias kognitif adalah bawaan kodrati manusia. Setiap kita selalu menarik kesimpulan melalui tangga-tangga seperti itu. Oleh karenanya, yang diperlukan adalah melakukan reflexive loop (putaran reflektif).


Reflexive loop adalah melakukan refleksi atas proses berpikir kita tangga demi tangga. Refleksi ini akan meminimalisasi bias kognitif yang tidak kita sadari mengeram dalam diri kita. Melalui proses reflexive loop, kita terus-menerus mempertanyakan asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan kita dengan mengecek kembali pada realitas.


Proses refleksi ini penting. Manusia dibedakan dari binatang salah satunya karena kemampuannya melakukan refleksi. Refleksi itu seperti memecah diri kita menjadi dua. Ibarat orang bercermin, kita meletakkan diri kita sendiri sebagai objek untuk diinterogasi, ditantang apakah pandangan dan tindakannya sudah tepat atau belum.


Jadi, kalau kita melihat ada seorang tokoh yang dulu dipuja-puja dan disanjung-sanjung, dianggap sebagai teladan, kemudian saat ini diolok-olok dan namanya dihancurkan untuk dijadikan musuh bersama, maka jawabannya adalah soal kaca mata. Pun, jika ada seorang tokoh yang dulu diolok-olok dan dianggap sebagai manusia berbahaya sehingga ramai-ramai dimusuhi, kemudian saat ini disembah-sembah, jawabannya juga ada pada kacamata.


Sekali lagi, yang berubah bukan pada si tokohnya. Karena, orangnya ya sama. Sikap dan kelakuanya pun tidak berubah. Bukan dia yang berubah. Yang berganti adalah kacamata yang kita pakai.


Tapi, bagaimanapun juga, kita adalah manusia. Ada perbedaan antara si anak sok dalam adegan Srimulat dengan sapi si petani. Jika yang pertama sanggup untuk melepas kacamatanya, maka yang kedua tidak akan pernah sanggup melepas kacamatanya sekalipun dia diingatkan ribuan kali. Jangan berharap si sapi akan mendapatkan nasihat dari sapi lain, karena sapi lain juga sudah dipasangi kacamata hijau oleh pemiliknya.


(Penulis adalah Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Kementerian Agama)

Halaman:

Komentar