Bukan Dia yang Berubah, Kacamatamu yang Berganti Warna

- Rabu, 04 Oktober 2023 | 09:31 WIB
Bukan Dia yang Berubah, Kacamatamu yang Berganti Warna



OLEH: AHMAD ZAINUL HAMDI

GENERASI baby boomer (lahir 1946-1964) sampai Gen-X (lahir 1965-1980) Indonesia yang suka nonton komedi, pasti lawakan Srimulat adalah pilihan utamanya. Saya tidak akan menulis tentang sejarah grup lawak yang berdiri sejak 1950 ini. Yang menarik untuk dibahas di sini adalah salah satu adegan lawakan yang sekalipun diulang berkali-kali, tapi tetap membuat penonton terpingkal-pingkal.


Adegan itu sebagai berikut:





Di sebuah ruang tamu, seorang juragan laki-laki sedang membela diri di depan istrinya, bahwa dia tidak menggoda pembantu perempuannya. Sementara pembantu laki-lakinya melakukan akting sedemikian rupa yang membuat suasana lucu terbangun.


Anak laki-laki si juragan kemudian masuk dengan gaya sok "modern" sambil pakai kacamata hitam. Kemudian, si anak sok itu bertanya dengan nada heran, "Kok ruangannya gelap?" Spontan, ayah, ibu (biasanya digambarkan sebagai orang tua tradisional, kurang terdidik, tapi kaya), dan pembantu (biasanya digambarkan sebagai orang desa, miskin, tidak terdidik dan tidak berakhlak) menjelaskan ke anak sok dengan gaya kemplinthi itu, bahwa bukan ruangannya yang gelap, tapi karena kacamata hitam yang dipakainya.


Jika saya gagal menarasikannya secara lucu, percayalah ketika adegan itu dimainkan oleh orang-orang semacam Asmuni, Jujuk, Tesi, Nunung, Gogon, Kadir, dan lainnya, penonton generasi "pra-stand up commedy" pasti akan terpingkal-pingkal sambil gemas dengan si anak yang sok modern tapi bloon itu.


Jika cerita Srimulat di atas masih kurang, saya tambahi dengan cerita lucu yang lain. Alkisah, ada seorang petani yang kebingungan karena sapinya tidak mau makan rumput yang disediakan. Bukan tanpa alasan mengapa si sapi boikot makan, karena rumput yang disiapkan tuannya adalah rumput yang warnya telah menguning-kering.


Mengetahui hal itu, si petani tidak menggantinya dengan rumput segar berwarna hijau. Karena, mau mencari ke mana, toh musim sedang kemarau panjang dan semua rumput yang ada telah meranggas kuning. Tak kurang akal, si petani kemudian memasang kacamata hijau pada sapi. Alhasil, si sapi melihat semua rumput yang disediakan tuannya berubah menjadi hijau dan segar. Sapi pun makan dengan lahap.


Dua kisah di atas tentu saja hanya cerita gurau. Tapi dua lelucon itu bisa menjelaskan cara orang membuat kesimpulan. Kesimpulan yang ada dalam kepala kita bukan kenyataan itu sendiri. Bahkan, kesimpulan bisa betul-betul berbeda dari kenyataan.


Dalam teori ladder of inference (tangga penyimpulan), manusia sejak awal telah melakukan seleksi data atas sebuah realitas yang kompleks. Data-data yang sudah diseleksi ini kemudian diberi makna. Dari sini, dia membangun asumsi-asumsinya. Berdasarkan asumsi inilah manusia membuat kesimpulan.


Tangga ini terus naik. Setelah kesimpulan diambil, ia menjadi keyakinan yang dipegang sebagai kebenaran. Berikutnya adalah mengambil tindakan tertentu. Tindakan seseorang lahir berdasarkan keyakinannya.


Halaman:

Komentar