Selalu Slogan NKRI Harga Mati, Yaqut Terseret Kasus Kuota Haji
Oleh: Muslim Arbi
Pengamat Hukum dan Politik
Slogan NKRI harga mati kerap dikibarkan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam berbagai kesempatan.
Retorika itu seolah menjadi tameng politik sekaligus simbol moral untuk mempertegas posisinya di ruang publik.
Namun kini, ketika ia terseret dalam dugaan korupsi kuota haji, publik mulai bertanya: sejauh mana slogan itu berdiri di atas konsistensi moral, dan sejauh mana ia hanya sebatas kata-kata untuk membangun citra?
Kasus kuota haji bukan perkara sepele. Ini bukan sekadar urusan administrasi birokrasi, melainkan menyangkut hak ribuan umat Islam yang menabung dan menunggu bertahun-tahun demi menunaikan ibadah suci.
Jika urusan sakral seperti haji ditarik ke ranah korupsi, dampaknya amat serius: kepercayaan umat terguncang, citra Kementerian Agama tercoreng, dan reputasi negara sebagai penyelenggara layanan publik dipertaruhkan.
Selama menjabat, Yaqut kerap melabeli pihak yang berbeda pandangan sebagai radikal atau fundamentalis.
Retorika semacam itu mungkin efektif untuk membungkam kritik, tetapi kini justru berbalik menjadi bumerang.
Publik menilai, sekeras apa pun teriakan tentang NKRI harga mati tak akan mampu menutupi fakta dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Kontradiksi pun tampak jelas: di satu sisi mengusung slogan kebangsaan yang tinggi, di sisi lain terseret kasus yang menyangkut hak umat dalam ibadah. Slogan kehilangan makna jika tidak dibarengi keteladanan nyata.
Dari sisi hukum, kasus ini menuntut transparansi penuh. KPK telah melakukan pemeriksaan, penggeledahan, dan penyitaan dokumen serta perangkat elektronik.
Proses ini harus dipastikan tidak berhenti pada simbol-simbol politik, tetapi membongkar fakta material: apakah ada penyalahgunaan kewenangan, siapa yang diuntungkan, dan berapa kerugian negara.
Prinsip presumption of innocence tetap berlaku. Yaqut, seperti warga negara lain, berhak dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan.
Namun hak itu tidak boleh dijadikan alasan untuk menutup ruang publik dari kebenaran.
Justru keterbukaan proses akan melindungi semua pihak dari tuduhan bahwa hukum dijadikan senjata politik.
Di sisi lain, publik juga harus waspada terhadap kemungkinan politisasi hukum. Jika proses penyelidikan dibelokkan menjadi alat manuver politik, kepercayaan masyarakat terhadap KPK akan semakin terkikis.
Umat Islam sebagai pihak yang paling dirugikan dalam soal haji tidak boleh kembali dijadikan alat dalam pertarungan elite.
Yang paling terdampak dari kasus ini adalah calon jemaah haji. Mereka yang telah menabung puluhan tahun berhak mendapat kepastian, bukan malah dibayangi dugaan permainan kuota.
Rakyat tidak peduli siapa yang berkuasa atau siapa yang kalah; yang mereka tuntut hanyalah pelayanan yang jujur, transparan, dan adil.
Kasus ini memberi pelajaran penting bahwa birokrasi penyelenggaraan ibadah harus steril dari kepentingan politik dan kepentingan kelompok. Haji bukan komoditas. Haji adalah ibadah yang harus dikelola dengan amanah.
Akhirnya, kasus Yaqut menegaskan satu hal: retorika besar seperti NKRI harga mati akan hampa tanpa keteladanan nyata dalam menjaga amanah jabatan.
Bila dugaan korupsi kuota haji terbukti, itu bukan hanya pengkhianatan terhadap negara, tetapi juga terhadap umat.
Sudah saatnya elite berhenti bersembunyi di balik slogan, berhenti melempar stigma radikal kepada lawan, dan mulai membuktikan diri dengan integritas. Umat menunggu bukti, bukan kata-kata. ***
Artikel Terkait
Nyali Baja Cucu Bung Hatta, Sebut RI Dipimpin Anak Haram Konstitusi, Protesnya Sampai ke Istana!
Emak-Emak Heran Ikut Diperiksa Polisi, Curhatan Meryati: Negara Jadi Gaduh Gara-Gara Jokowi!
Legislator Golkar Desak Kejaksaan Eksekusi Bos Relawan Jokowi: Hukumnya Sudah Jelas!
Alasan UGM Batalkan Peluncuran Buku Jokowis White Paper, Ternyata Ini Isinya!